Senin, 21 September 2015

FILOLOGI



FILOLOGI 






BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pengertian Filologi
Secara etimologis, filologi berasal dari kata Yunani philos yang konsep maknanya hampir sama dengan kata “cinta” dalam bahasa Indonesia dan kata logos (Yunani) yang konsep maknanya hampir sama dengan “kata” dalam bahasa Indonesia. Dari dua pengertian kata tersebut filologi bermakna “Cinta kata” atau “senang bertutur”. Perkembangan makna filologi selanjutnya menjadi “senang belajar” “senang ilmu” “senang kesusastraan”atau “senang kebudayaan”. Dilihat dari etimologinya, maka filologi penyelidikannya pada yang tertulis. Mementingkan arti kata-kata atau berkepentingan dengan kata-kata dalam unsur komunikasi. Khususnya kata-kata yang dikomunikasikan secara tertulis (yang kuna). Menyelidiki kata-kata dalam arti sebenarnya (maksudnya). Jadi tidak melihat dari segi estetika, karena hal ini  termasuk dalam ilmu sastra ( kesusastraan). Sehingga letak filologi dapat diterangkan demikian


Teknis                                     maksud/tujuan                                     nilai
--------------------------            ---------------------------------                       ------------------------------
Maksud
       F
linguistik                                  filologi                                           kesusastraan
Teknis
      L

     Nilai  K

 


                                               



       Penjelasan lain dapat kita ikuti pendapat dari Prof. Dr. A.A. Fokker dalam kuliah-kuliahnya sekitar tahun 1955 – 1956, memberikan batasan filologi sebagai berikut :
..........ahli filologi mempelajari bahasa bukan dengan maksud untuk mengetahui susunan-susunan atau hukum-hukumnya, melainkan untuk mengetahui karya sastra, hingga pelajaran bahasa gabi ? mereka hanya merupakan alat saja, bukan tujuan. Tujuannya yaitu kesusastraan dan kebudayaan yang bersangkutan. Jadi, ahli filologi menelaah buah pikiran yang dinyatakan  dalam salah satu bahasa. Sebaiknya ahli linguistik bertanya ; bagaimanakah buah pikiran dinyatakan dengan suatu bahasa. Jadi bahasa bukan sebagai alat belaka melainkan sebagai tujuan.
      
Dari pengertian secara etimologis di atas, setidaknya ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan pegangan untuk dikembangkan menjadi definisi, yaitu senang, kesusastraan, dan kebudayaan.  Pengertian filologi secara etimologi serta sejarah penelitiannya dapat dibangun definisi filologi : ilmu yang membahas cara penelitian teks untuk dapat menarik pemahaman nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam teks tersebut baik yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk membangun definisi filologi secara komprehensif maka perlu dilakukanpenelusuran terhadap unsur-unsur penelitian filologi yang secara paradigmatis selalu muncul dalam sepanjang sejarah penggunaan ilmu tersebut dari waktu ke waktu.Unsur-unsur penelitian filologi tersebut meliputi fokus, subjek, dan objek penelitian. Jika memungkinkan juga melihat metode penelitian yang digunakan.
Mengenai etimologi kata filologi sudah diterangkan, yaitu ilmu yang dipakai orang-orang “yang menyukai perkataan”, yang dalam bahasa Inggeris yaitu “ Philology”. Di Inggeris juga di Amerika istilah filologi tidak dipakai lagi, lebih umum dipakai istilah “ study of Literature” (studi sastra), karena istilah filologi dipandang sudah kolot (arkhais). Kalau yang dimaksud itu khusus filologi seperti pengertian kita, Inggeris dan juga Amerika memakai istilah  “Textual Criticism”(dipinjam dari bahasa Jerman) yang tidak dilepaskan  dari linguistik artinya termasuk dalam linguistik. Sedang di Jerman filologi telah dihubungkan dalam bahasa latin dan Yunani Kuna.
Seorang yang sering bukunya disebut untuk mempelajari filologi yaitu Paul Maas (ahli bahasa Yunani Kuna, Jerman). Bukunya pertama kali ditulis dalam bahasa Jerman dengan judul “Tekxtkritik”, yang sudah diterjemahkan  dalam bahasa Inggris antaranya oleh Barbara Flower (1985) : English Edting  Oxford University dan sebelumnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris yaitu ; Textual Criticism. Isi buku tersebut diambilkan dari naskah-naskah Yunani Kuna. Buku kecil saja, hanya 50 halaman, dan sulit dimengerti karena berupa gambar-gambar.
Sesuatu bahasa jika kita mengambil dasar dari buku-buku yang berbahasa asing, bila umpamanya saja kita mentrapkan  pada filologi Indonesia. Sebuah contoh misalnya “Tantu Panggelaran” edisi (terbitan), editor ( penerbit), Dr. Th. Pigeaud, masih memakai  metode kuna (out to date) pada waktu itu. Ia hanya memakai sebuah naskah saja, dengan kesalahan-kesalahannya. Biasanya mengumpulkan teks (legger), kemudian diambil  satu diantaranya yang dipandang paling baik, paling sedikit kesalahan, tetapi tujuh tahun kemudian  yaitu tahun 1932, J Gonda menerbitkan Brahmanda purana, maka untuk pertama kalinya Gonda lah yang memakai metode yang baru dalam penelitian  filologi di Indonesia.
Perlu juga kiranya diketahui bahwa pada akhir-akhir ini timbul ide yang cenderung untuk mendekati telaah filologi dengan teori-teori yang terdapat pada sastra modern. Ternyata kenyataannya tidak bisa dalam penyelidikan filologi melepaskan diri dari linguistik dan kesusastraan. Karena itulah maka tugas penelitian filologi :
1.      Tidak boleh mengasingkan diri
2.      Harus juga berhubungan dengan linguistik dan kesusastraan
3.      Penelitian pada latar belakang naskah-naskah (makna, maksud yang sebenarnya).
B.    Objek Penelitian Filologi
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Berikut ini adalah uraian tentang naskah dan teks.
1. Naskah
Naskah dalam bahasa Inggris disebut manuskrip dan dalam bahasa Belanda disebut handschrift (Djamaris, 1977: 20). Menurut Darusuprapta (1984:10), naskah adalah karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Baroroh-Baried (1977: 20) berpendapat bahwa naskah merupakan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa naskah adalah tulisan tangan, baik asli maupun salinannya yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau.
Peninggalan-peninggalan naskah pada masa lampau banyak yang tersebar di wilayah Jawa. Peninggalan naskah jumlahnya tidak terbilang, yakni sebagian besar telah dihimpun dalam koleksi naskah lembaga ilmiah. Adapun lembaga-lembaga yang menyimpan naskah Jawa, antara lain: Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional di Yogyakarta, serta 10 naskah-naskah koleksi pribadi yang tersebar luas di segala lapisan masyarakat (Darusuprapta, 1995: 2-3). Selain lembaga-lembaga penyimpanan naskah yang telah disebutkan di atas, naskah-naskah Jawa juga tersimpan di pusat kebudayaan Jawa.
Adapun pusat kebudayaan Jawa tempat penyimpanan naskah tersebut, seperti: Tepas Kapujanggan Widya budaya Kasultanan Yogyakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Perpustakaan Sasana pustaka Keraton Surakarta, Perpustakaan Reksa pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta, dan Perpustakaan Museum Radya pustaka Surakarta (Darusuprapta, 1995: 3-6). Naskah Jawa mengandung isi bermacam-macam, di antaranya naskah mengandung unsur peristiwa penting dalam sejarah, sikap dan pikiran serta perasaan masyarakat, ide kepahlawanan, sikap bawahan terhadap atasan dan sebaliknya. Ada pula naskah yang menguraikan sistem pemerintahan, tata hukum, adat istiadat, kehidupan keagamaan, ajaran moral, perihal pertunjukan beserta segenap peralatannya (Darusuprapta, 1995: 137).
Naskah yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu naskah Sêrat Dwikarånå. Dalam naskah Sêrat Dwikarånå memuat tentang bermacam-macam teks piwulang, misalnya sabab musababing manungsa saged mlampah, patrap wawan sabda kaliyan tiyang sanes, pralambangipun (Behrend, 1990: 495), dan lain sebagainya. Menurut Ismaun (1996: 8), naskah Jawa ditulis dengan keragaman bentuk penulisan aksara Jawanya. Keragaman bentuk penulisan aksara Jawa itu ada lima macam, yaitu (1) bata sarimbag, (2) ngêtumbar, (3) mucuk êri, (4) nyacing, dan (5) kombinasi.  Di bawah ini diuraikan bentuk-bentuk penulisan aksara Jawa.
1. Bata sarimbag, yaitu aksara Jawa yang berbentuk persegi menyerupai bata merah.
2. Ngêtumbar, yaitu aksara Jawa yang pada sudut-sudutnya tidak berbentuk sudut siku tetapi berbentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar.
3. Mucuk êri, yaitu aksara Jawa yang pada bagian atas berupa sudut lancip seperti duri
    (êri).
4. Nyacing, yaitu aksara Jawa yang bentuk aksaranya pipih seperti cacing.
5. Kombinasi, yaitu aksara Jawa yang bentuknya terbentuk dari gabungan keempat   jenis aksara Jawa tersebut di atas.
2. Teks
Objek penelitian selain naskah adalah teks. Teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Kandungan naskah yang menyajikan berbagai aspek sekarang sudah mulai mendapat perhatian peneliti. Hal itu disebabkan karena kandungan naskah menyimpan informasi tentang produk-produk masa lampau mempunyai relevansi dengan produk-produk masa kini. Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu: (1) teks lisan atau tidak tertulis, (2) teks naskah atau tulisan tangan, dan (3) teks cetakan (Baroroh-Baried, 1985: 56).



C.  Filologi Termasuk Disiplin Bahasa.
Sebagaimana diketahui bahwa studi bahasa di Fakultas Sastra (UNUD) dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyangkut disiplin “bahasa” dan yang kedua disiplin “Arkeologi, Antropologi dan sejarah”. Kelompok pertama (bahasa) terdiri dari :
1.    Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
2.    Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
3.    Jurusan Bahasa dan sastra Bali
4.    Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna.
Pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di bagi lagi menjadi 3 seksi :
1.    Seksi Linguistik
2.    Seksi kesusastraan
3.    Seksi filologi.
Bahasa secara umum adalah alat komunikasi, baik lisan maupun tulis. Bahasa merupakan tindakan khas manusia, karena itu termasuk Ilmu kemanusiaan (humaniora = humanities). Disebut juga Ilmu Budaya sesuai dengan ciri khas manusia. Dilihat dari fungsinya termasuk ilmu yang berhubungan dengan tindakan manusia (berhubungan seks, pergaulan dsb. / rumpun ilmu sosial)
Dalam abad XX ini, ilmu pengetahuan kemanusiaan belum ada, hubungan antar manusia termasuk dalam ilmu Sosiologi, hubungan manusia dengan benda yang diciptakannya adalah rumpun Antropologi Budaya. Dulu penyelidikan Filologi terbatas pada naskah-naskah (yang sudah mati dan kuna), tetapi sekarang sampai pada ilmu sosial budaya. Gejala bahasa, cara bagaimana terjadinya (seperti perkembangan bunyi dalam menghasilkan bahasa, cara pengucapan, pemakaian kata-kata dalam kalimat. Ilmu yang melihat gejala-gejala bahasa secara teksnis disebut Ilmu Linguistik.


D.  Tujuan Filologi

Seperti halnya ilmu lainnya, penelitian filologi mempunyai tujuan yang mendasari langkah kerjanya. Langkah pengkajian filologi mempunyai dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Baroroh-Barried, dkk. (1985: 5), menyebutkan bahwa tujuan umum dan tujuan khusus filologi adalah sebagai berikut.
a. Tujuan umum
1)  Memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui hasil  sastranya, baik lisan maupun tulisan;
2)   Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya;
3) Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternative pengembangan kebudayaan.
b. Tujuan khusus
1)   Menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya;
2)   Mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya;
3)   Mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya.
Sedangkan menurut Djamaris (2002 : 9) Filologi mempunyai tujuan sebagai berikut :
1)       Mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian/cirri khusus penulisan kata dan menterjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia
2)      Menyunting teks dengan sebaik-baiknya, dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf capital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea dan bagian-bagian cerita.
3)      Mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.
4)      Sebagai tambahan, tujuan kritik teks adalah membersihkan teks dari kesalahan yang terjadi selama penyalinan berulang kali, merekontruksi isi naskah sehingga naskah telah tersusun kembali seperti semula dan menjelaskan bagian-bagian yang kurang jelas sehingga seluiruh teks dapat dipahami.
E.  Sejarah Filologi
Penelusuran secara historis dimaksudkan untuk memahami dan menjelaskan setiap transformasi yang terjadi pada unsur-unsur tersebut. Filologi sebagai ilmu sebetulnya mempunyai sejarah yang panjang. Ilmu ini untuk pertama kalinya muncul sejak abad ke-3 Sebelum Masehi di Eropa baik itu di Romawi Barat, Romawi Timur maupun Iskandariyah. Kemudian berkembang pada Abad ke-13 Masehi sampai abad ke 17 Masehi dan mengalami transformasi yang cukup signifikan pada abad ke-20 Masehi terutama yang terjadi di Eropa atau tepatnya di Wilayah Anglo-sakson. Di samping itu, ilmu ini juga menyebar ke Timur Tengah pada abad ke-4 Masehi dan berkembang sampai pada abad ke sembilan Masehi, yaitu pada waktu pemerintahan Islam Daulah Abasiyah yang berpusat di Bagdad.
Pada Abad ke-15 sampai dengan abad ke 20 Masehi sejalan dengan munculnya bangsa Eropa ke Wilayah Timur, ilmu ini juga masuk ke India dan beberapa daerah di wilayah Nusantara.Meskipun telah mengalami perubahan atau perkembangan yang cukup lama namun ilmu tersebut tetap memiliki karakteristik yang tidak berubah. Karakteristik tersebut terlihat pada objek, subjek, dan fokus kajian yang dilakukan oleh para filolog sejak ilmu ini pertama kali dikenal orang sampai sekarang.
Pada waktu pertama kali penelitian filologi ini dilakukan, yaitu pada abad ke 3 SM kerja seorang filolog ialah membaca dan menyalin naskah Yunani yang ditulis pada abad ke-8 SM di daun papirus dalam bahasa Funisia. Pada umumnya teks tersebut berisi berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat, kedokteran, perbintangan, ilmu sastra & karya sastra, ilmu hukum, dsb. Mereka melakukan pekerjaan tersebut untuk keperluan penggalian ilmu pengetahuan Yunani lama & perdagangan naskah. Agar hasil pekerjaannya tersebut layak jual mereka melakukan perbaikan huruf, ejaan, bahasa, tatatulis kemudian menyalinnya dalam keadaan yang mudah dibaca serta bersih dari kesalahan. Selanjutnya suatu waktu ditemukan sebuah naskah dalam keadaan yang masih gelap, diperkirakan berisi tentang  penobatan salah seorang raja  Athena atau Macedonia. Setelah diteliti ternyata dugaan itu tidak benar. Isinya ternyata merupakan suatu mitos tentang “terbitnya matahari.Demikian yang dilakukan para filolog pada abad ke-3 Masehi di Aleksandria.
Pada Abad yang sama, di Romawi Barat para filolog membaca dan menyalin naskah berbahasa Latin yang berisi puisi dan prosa yang telah diteliti secara filologis sejak abad ke-3 SM. Perbedaannya dengan para filolog di Aleksandria ialah terletak pada fokus perhatian mereka. Kalau di Aleksandria para filololog hampir memperhatikan berbagai ilmu pengetahuan, di Romawi barat mereka hanya memfokuskan pada naskah keagamaan terutama sejak terjadi kristenisasi di Eropa. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pembacaan dan penyalinan naskah pada kulit binatang domba yang disebut “perkamen” (Belanda) “parchment” (Inggris). Perbedaan lainnya ialah pada cara penulisan yang telah menggunakan nomor halaman dalam bentuk buku (codex) Perbedaan yang cukup signifikan dilakukan oleh para filolog Romawi Timur. Jika para filolog di Eropa atau Romawi Barat mereka hanya membaca dan menyalin naskah maka para filolog di Romawi Timur menambah kegiatan mereka dengan menafsirkan isi naskah.
Penafsiran mereka dinamakan scholia, yaitu penafsiran yang ditulis pada setiap halaman berupa tulisan lain yang membicarakan masalah yang sama yang ada dalam naskah. Pada abad ke-5 M di Timur Tengah tepatnya di Jundi Syapur, Pusat Studi ilmu Filsafat dan ilmu kedokteran, para filolog melakukan penerjemahan teks Yunani ke dalam bahasa Syria kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Kegiatan serupa juga terjadi di Herra (Hirah), yaitu menerjemahkan teks yang berisi tulisan Plato, Ptolomeus, dan Galen ke dalam bahasa Syiria dan Arab. Di Bagdad Abad ke-8 s/d ke-9 Masehi para filolog Dinasti Abasiyah di samping melakukan penerjemahan teks Yunani dan Parsi ke dalam bahasa Arab juga melakukan penelaahan dan studi kandungan teks yang berisi ilmu pengetahuan seperti geometri, astronomi, teknik, dan musik.
Di samping itu mereka juga mengiventarisir naskah yang ditemukan. Metodologi yang digunakan ialah kritik teks yaitu dengan memberikan kritik terhadap adanya korupsi dan penerjemahan yang kurang tepat. Penerjemahan juga dilakukan oleh para filolog di Cambridge dan Oxford pada abad ke-17 M dengan melakukan penerjemahan terhadap teks Arab, Parsi, Turki, Ibrani, dan Siria ke dalam bahasa Inggris. Teks-teks yang mereka teliti berisi berbagai ilmu pengetahuan dan kesusastraan.
Pada Abad ke-13 M dapat dikatakan sebagai puncak perkembangan filologi. Di Italia para filolog di samping membaca dan menyalin juga merunut sejarah suatu teks. Untuk kegiatan tersebut mereka telah menggunakan metode kritik teks dalam merunut sejarahnya. Isi teks yang dikerjakannya meskipun terfokus pada masalah humaniora namun cukup beragam, yaitu mulai dari masalah keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, ilmu bahasa, kesastraan, sampai masalah kesenian.
Pada Abad ke-15 di daratan Eropa terjadi revolusi dalam penyalinan naskah, yaitu dengan ditemukannya mesin cetak. Penemuan ini akan memberi warna tersendiri terutama dalam kegiatan penyalinan naskah, yaitu yang berupa perbanyakan naskah. Naskah yang telah diteliti dan disunting dengan memperkecil kesalahan atau mengusahakan naskah sesuai dengan teks aslinya kemudian diperbanyak dengan menggunakan mesin cetak. Dalam praktiknya, banyak naskah sebuah teks yang disunting dengan memasukkan semua unsur yang baik yang terdapat dalam berbagai naskah yang dijumpai sehingga terjadilah naskah baru yang berupa naskah hibrid karena tidak diketahui lagi ciri-ciri setiap naskah yang diperbandingkan. Hal ini terjadi karena filolog tidak memberikan kritik teks terhadap setiap perbedaan yang terjadi pada setiap naskah.
Di samping terjadinya peristiwa seperti di atas pencarian daerah baru yang terjadi di negara-negara Eropa memunculkan daerah koloni baru. Kondisi ini menodorong pemerintah untuk membebani para filolog agar dapat melakukan penelitian teks untuk memahami kebudayaan masyarakat yang berada di daerah-daerah jajahan demi kepentingan penjajahan atau pemerintah kolonial. Para filolog kemudian melakukan penelitian bahasa teks, penerjemahan, penelaahan, dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari India dan Nusantara.
Sejarah penelitian filologi di atas menunjukkan bahwa objek penelitian filologi sejak pertamakali hingga sekarang tetap tidak berubah, yaitu teks atau naskah. Berbeda dengan objek penelitiannya, subjek penelitian filologi secara struktural mengalami transformasi sejalan dengan perkembangan atau tuntutan zaman, yaitu mulai dari berbagai macam ilmu pengetahuan, masalah keagamaan, sampai pada semua aspek kebudayaan untuk kepentingan penjajahan. Demikian juga yang terjadi pada fokus penelitiannya, yaitu mulai dari pembetulan kesalahan, penyalinan, penafsiran, sampai pada kegiatan penerjemahan. Definisi Filologi Berdasarkan tiga kata kunci pengertian filologi secara etimologis serta sejarah penelitian filologi di atas dapat dibangun definisi filologi sebagai berikut. Filologi adalah ilmu yang membahas cara penelitian teks untuk dapat menarik pemahaman nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam teks tersebut baik yang tersurat maupun yang tersirat.
            Dari contoh penelitian filolog di Yunani tersebut, dapat kita menarik suatu kesimpulan bahwa filologi tidak dapat dilepaskan dari bidang-bidang ilmu sosial lainnya , seperti ; agama, filsafat, antropologi, sosiologi, folklore, mythe, sejarah, politik maupun sosial), ilmu-ilmu itu harus kita pertimbangkan dalam melakukan penelitian filologi.   Contoh lain  yaitu kakawin Negarakertagama (yang mula-mula diketemukan di Lombok).
     Implikasinya, seorang filolog tidak dapat membatasi diri, hanya sampai pada rangkaian kata-kata yang dihadapi saja (yang tertulis atau harfiah saja). Sebab akan menimbulkan bahaya kekeliruan dalam evaluasi, hal ini terjadi  pada jaman dulu, umpama tentang kata “dewa”, di india dapat dipakai untuk raja-raja. Kalau mempelajari benda-benda mati , berupa naskah-naskah, maka dalam evaluasi sering kali lebih berbahaya. Hal-hal di atas merupakan hukum, dasar-dasar filologi, yaitu ;

-          Melihat teks (naskah)
-          Mengadakan penelitian
-          Penafsiran
-          Dan akhirnya evaluasi.
Prinsipnya jangan sampai melewati atau mengabaikan teks, sikap ini harus tetap dipertahankan dan memerlukan ketabahan dalam menghadapi suatu naskah kuna. Jadi seorang filolog tidak bisa menulis suatu naskah yang berasal dari terjemahan saja, tetapi harus sampai kepada  aslinya (teks orisinil).
Selanjutnya perkembangan filologi misalnya di Inggeris juga di Amerika istilah filologi tidak dipakai lagi, lebih umum dipakai istilah “ study of Literature” (studi sastra), karena istilah filologi dipandang sudah agak kolot (arkhais). Kalau yang dimaksud itu khusus filologi seperti pengertian kita, Inggeris dan juga Amerika memakai istilah “ Textual Criticism” (dipinjam dari bahasa Jerman) yang tidak dilepaskan dari linguistik artinya termasuk dalam linguistik. Sedangkan di Jerman filologi telah dihubungkan dalam bahasa latin dan Yunani Kuna. Seorang yang sering bukunya disebut untuk mempelajari filologi yaitu Paul Maas (ahli bahasa Yunani kuna dari Jerman).
Bukunya pertama kali ditulis dalam bahasa Jerman dengan judul “ Tekx kritik” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris antaranya oleh “Barbara Flower (1950); English Edting Oxford University dan sebelumnya sudah  diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris pada tahun 1927, judul dalam bahasa Inggeris : “Textual Criticism”. Isi buku tersebut di ambilkan dari naskah-naskah Yunani Kuna, bukunya kecil saja, hanya 50 halaman (sulit dimengerti karena berupa gambar-gambar).
Sesuatu bahaya jika kita mengambil buku-buku yang berbahasa asing. Bila umpamanya saja kita menterapkannya pada filologi Indonesia. Sebuah contoh misalnya : Tantu panggelaran edisi Dr. Th. Pigeaud, masih memakai metode kuna (out to date) pada waktu itu. Ia hanya memakai sebuah naskah saja, dengan kesalahan-kesalahannya. Biasanya mengumpulkan teks, kemudian diambil satu di antaranya yang dipandang paling baik (paling sedikit kesalahan). Tetapi tujuh tahun kemudian  yaitu tahun 1932  J. Gonda, menerbitkan Brahmanda Purana, maka untuk pertama kalinya Gondalah yang memakai metode baru dalam penelitian  filologi di Indonesia.
F.   Hubungan Filologi Dengan Sejarah.
            Di Athena misalnya suatu kebiasaan seorang panglima perang selalu diikuti oleh seorang penulis yang bertugas mencatat kejadian sehari-hari. Hal ini menjadi pegangan penulisan-penulisan sejarah Eropa, sehingga dalam disiplin penulisan dipercaya.
Interpretasi : di dalam menghadapi sesuatu sebagai sumber sejarah, maka kita harus  memperhatikan ;
1)        Peranan sejarah (kurang) atau tidak ada, akhir-akhir ini mulai timbul.
2)        Naskah-naskah kita tidak ada yang khusus mengenai sejarah (karena itu kita harus
     waspada)
3)        Pemakaian data tidak boleh dipakai begitu saja, harus diteliti dan diselidiki dengan membandingkan pada berita-berita asing seperti para musafir Cina, Marcopolo, Ibnu Bathutah, prasasti-prasasti dan lain sebagainya.
Jadi selayaknya dalam menggunakan naskah sebagai sumber sejarah perlu pendekatan secara filologis supaya tidak terjadi kesalahan dalam mengemukakan interpretasi. Misalnya Krom tentang jaman Hindu, sekarang tulisannya itu dianggap gegabah, yaitu tentang perpindahan  kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tanpa argumentasi. Artinya Krom membicarakan hal-hal di dalam sejarah secara terbuka. Dalam hal ini C.C. Lerg agak lebih baik, tetapi sayang fantasinya terlalu jauh. Autentitas berita-berita juga merupakan lapangan Filologi. Jadi antara ilmu dan bahan harus dipisahkan.




BAB II
JENIS-JENIS NASKAH NUSANTARA

A.    Pengelompokan Naskah Nusantara
Teks nusantara yang telah diproduksi sejak abad ke delapan Masehi keberadaannya tersebar di perpustakaan dan museum di berbagai negara di dunia, baik yang dikelola pemerintah, lembaga swasta, kerajaan yang ada di wilayah nusantara, kolektor naskah, budayawan, maupun skriptoria atau tempat penulisan naskah. Hal ini dapat diketahui dari katalog berbagai perpustakaan, dan museum atau pernyataan beberapa kolektor naskah yang sering dikemukakan dalam berbagai seminar. Dalam Pengantar Teori Filologi, Baroroh (1983:8) mengemukakan bahwa naskah Nusantara saat ini tersimpan di museum-museum dalam 26 negara, yaitu Malaysia, Brunei, Singapura, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swis, Denmark, Norwegia, Polandia, Ceklosowakia, Spanyol, Itali, Perancis, dan Belgia.
Ketika Dr. H.H. Junynboll berbicara tentang kesusastraan Bali, pertama-tama ia mempertanyakan. Apakah yang disebut kesusastraan Bali dan bagaimana hubungannya dengan kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan di satu pihak dan Sasak di pihak lain ?. Selanjutnya ia mengingatkan bahwa orang-orang Jawa sesudah jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang terakhir, memindahkan seluruh kebudayaan mereka yang lama, antara lain agama, kesenian, dan kesusastraan mereka ke pulau Bali yang dekat, dimana hal itu hingga kini masih hidup terus (1916 : 556).
            Ketika berbicara tentang kerangka historis sastra Jawa Kuna, Prof. Dr. P.J. Zoetmulder memberi penjelasan tentang hal itu. Dikatakannya bahwa  semenjak pertengahan abad ke – 14 masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu-Jawa seperti terasa lewat pusat kebudayaan dan relegi, dan sebagai konsekuensi bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu-Jawa. Di pusat-pusat keagamaan itu bahwa Jawa Kuna hampir pasti dituturkan dan ditulis.
                                    Sastra Jawa Kuna tidak hanya dimaklumi dan dipelajari, tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya baru yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan, karya-karya itu mengikuti tradisi yang sudah berlaku dengan demikian dekat dan mengandung sedikit unsur yang dapat diidentifikasikan sebagai khas Bali, sehingga sukar bahkan kadang-kadang mustahil membedakan karya-karya ini dari karya-karya yang ditulis di Jawa sendiri. Sama-sama dengan karya-karya asli Jawa mereka termasuk kasanah sastra Jawa ( 1983 : 24).
        Tentang sastra Jawa Pertengahan Zoetmulder melontarkan pernyataan yang tegas, bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali (1983 : 33), oleh karenanya jauh sebelum Juynboll telah menyatakannya sebagai kesusastraan Bali, walaupun bahasanya bukan bahasa Bali (1916 : 560). Dengan demikian  kita dapat mengerti dengan pembagian kesusastraan Bali yang diberikan oleh Friederich dalam pengalamannya mengenal pulau Bali (1849 : 1 – 63), ia membagi kesusastraan Bali menjadi tiga golongan yaitu :
1.         FRIEDERICH
a.    Karangan-karangan Sanskrit dengan terjemahan bebasnya dalam bahasa Bali. Golongan ini dimasukkan ; Weda-Weda, Brahmanda dan sebagian besar dari karangan-karangan prosa yang disebut tutur.
b.    Karangan-karangan Kawi, yang dibagi menjadi dua bagian :
1)        Karangan-karangan epis, seperti : Ramayana, Uttarakanda, dan
      Parwa-parwa.
2)  Puisi Kawi yang lebih ringan, misalnya : Arjunawiwaha, Bharatayuddha dan sebagainya.
3) Karangan-karangan Jawa-Bali, sebagian dalam metrum dalam negeri (kidung) misalnya Malat, sebagian ditulis dalam prosa, seperti karangan-karangan historis ; Ken Angrok, Rangga Lawe dan sebagainya.
Kita tidak mempersoalkan keberatan-keberatan yang dapat diajukan terhadap pembagian tersebut, tetapi kita ingin menyatakan kesan bahwa membuat pembagian kesusastraan Bali atau membuat pengelompokan naskah-naskah Bali cukup sulit. Karena usaha pengelompokan tersebut akan mesti mempertimbangkan tidak saja isi dan bentuk naskah tetapi juga bahasanya.
Selanjutnya di bawah ini di sajikan pembagian atau pengelompokan dari beberapa peneliti naskah-naskah Bali sebagai berikut :
2.    R. VAN ECK ;
Menyajikan pembagian yang oleh  Juynboll dinyatakan lebih baik dibandingkan dengan pembagian yang disajikan oleh Friederich. Menurutnya orang-orang Bali membagi tulisan-tulisan mereka dalam 4 (empat) bagian utama, sebagai berikut :
1)         Kakawin atau syair-syair yang ditulis dalam metrum Kawi dan dengan bahasa
       Kawi.
2)        Mantra-mantra, sebagian ditulis dalam prosa, sebagian lagi dalam sloka-sloka yang bahasanya kadang-kadang  adalah bahasa Kawi atau Sanskerta dan kemudian dicampur dengan bahasa Bali.
3)         Karangan-karangan prosa (paca paliring atau paca periring) yang semuanya
       ditulis dalam bahasa Kawi. Bagian ini di bagi lagi menjadi  5 (lima) bagian
       yaitu :
(a)                Tulisan-tulisan pengajaran (tutur) yang sebagian bersifat pendidikan
dan mistik.
(b)                Buku undang-undang (agama)
(c)                Tulisan-tulisan mengenai pengobatan (usada)
(d)                Karangan-karangan historis
(e)                Surat-surat dan perjanjian tertulis antara raja-raja di Bali (surat
            pasobaya). Semuanya ditulis dalam bahasa Bali yang baik.
4)         Syair-syair dalam mat-mat sajak yang lebih baru, bagian ini dibagi lagi
       menjadi :
(a)                Yang mula-mula merupakan syair Jawa (Kawi) yang dibawa ke Bali
dan disini disimpan secara utuh atau beberapa nama ditukar-tukar dan disisipi kata-kata Bali (ternyata yang dimaksudkan dalam hal ini adalah baik syair-syair Jawa Tengahan/misalnya Malat/maupun syair-syair Bali/umpamanya wargasari.
(b)                Geguritan yang dibagi lagi menjadi :
1)        Terjemahan ke dalam bahasa Bali atau saduran-saduran dari cerita Jawa tulen, tetapi yang bahasanya masih sangat bercampur dengan bahasa Jawa (kawi)
2)    Tulisan-tulisan Bali asli yang merupakan kesusastraan Bali tulen.
Ketika menyajikan tulisan tentang klasifikasi naskah lontar Gedong Kirtya Singaraja, Nyoman Kadjeng menyatakan memperhatikan juga pembagian yang diajukan oleh Friederich dan Van Eck tersebut. Tetapi klasifikasi yang diajukan ternyata sangat lain, sebagaimana terpakai juga sampai sekarang. Naskah-naskah lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya dibagi menjadi 6 (enam) bagian dan masing-masing bagian mempunyai sub bagian, sebagai berikut :
3.         NYOMAN  KADJENG ;
Mengklasifikasikan naskah-naskah lontar di Gedong Kirtya sebagai berikut :
A.  Weda :
a)                   Weda
b)                  Mantra
c)                   Kalpasastra
B.   Agama :
a)                  Palakerta
b)                 Sasana
c)                  Niti
C.   Wariga ;
a)                   Wariga
b)                  Tutur
c)                   Kanda
d)                  Usada

D.  Itihasa :
a)                   Parwa
b)                  Kakawin
c)                   Kidung
d)                  Geguritan
E.   Babad :
a)                   Pamancangah
b)                  Usana
c)                   Uwug
F.    Tantri ;
a)                      Tantri
b)                      Satua.




4.      KETUT SUWIDJA,
Menambahkan dengan kelompok G yang diberi nama Lelampahan, memuat lakon-lakon pertunjukan kesenian Gambuh, Wayang, Arja dan sebagainya.

5.         TH. PIGEAUD ;
Untuk mendapat gambaran umum tentang isi jenis-jenis naskah tersebut  menurut Th. Pigeaud mengklasifikasikan sebagai berikut ;
1)        Naskah-naskah keagamaan dan etika
a)    Weda, Mantra, dan Puja :
Naskah-naskah yang memakai judul Weda, Mantra dan Puja, cukup banyak ditemui. Naskah-naskah ini biasanya memuat sloka-sloka Sanskerta, kadang-kadang terdapat juga kata-kata Jawa Kuna dan Bali. Naskah-naskah ini termasuk naskah-naskah yang disucikan, karena menjadi pegangan para pendeta di Bali
b)    Kalpasastra :
Naskah-naskah dalam jenis ini adalah naskah-naskah yang memuat aturan-aturan upacara keagamaan. Ada yang memakai bahasa Jawa Kuna, Bali, atau campuran dari kedua  bahasa tersebut. Naskah-naskah ini sangat dipentingkan oleh pemuka-pemuka agama di Bali sebagai pedoman dalam melaksanakan upacara keagamaan terutama upacara-upacara keagamaan yang bersifat khusus.
c)     Tutur :
Naskah-naskah dengan judul tutur sangat banyak dijumpai. Isinya ternyata tidak saja berkaitan dengan ajaran-ajaran keagamaan termasuk uraian tentang kosmos, tetapi juga memuat penjelasan-penjelasan pengetahuan-pengetahuan tertentu, seperti ; pengetahuan pengobatan/penyembuhan (Welfgang Weck, 1976 : V). Ketika membicarakan lontar Jnanasiddhanta, Prof. Dr. Haryati Soebadio sempat membicarakan istilah “ tutur” tersebut dengan detail. Ia menyetujui pendapat Zoetmulder yang menyatakan tutur adalah terjemahan dari kata “smrti” dalam bahasa Sanskerta (1971 : 3). Smrti berarti ingat. Jadi naskah-naskah tutur memuat “tafsiran”, “kajian” oleh seorang ahli terhadap ajaran-ajaran yang telah ada.
d)   Sasana :
Naskah-naskah dengan judul Sasana biasanya memuat petunjuk-petunjuk kesusilaan dan moral. Misalnya tentang aturan tingkah laku seorang anak (putra sasana), seorang pendeta (wrati sasana) dan lain-lain.
e)     Niti :
Naskah-naskah yang memakai judul niti tidak banyak jumlahnya. Sekalipun demikian  naskah ini cukup penting, karena memuat aturan-aturan kepemimpinan yang pada masanya pernah dijadikan pedoman oleh seorang raja dalam menjalankan pemerintahan atau dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa naskah yang dapat digolongkan dalam jenis ini adalah Bhagawan Indraloka, Bhagawan Kamandaka dll.
2)    Naskah-naskah kesusastraan ;
a)    Parwa ;
Naskah-naskah Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa Sanskerta, kutipan-kutipan itu tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu (Zoetmulder, 1983 : 80).
b)    Kakawin ;
Kakawin adalah jenis karya sastra puisi Jawa Kuna yang berpola kawya India. Garis besar kaidah bentuknya adalah tiap bait terdiri atas 4 baris, tiap baris terbentuk oleh jumlah silabel tertentu (chanda), dan panjang pendek suara tertentu (guru laghu). Jumlah karya sastra yang sangat memikat minat peneliti sastra Jawa Kuna ini cukup banyak. Beberapa di antaranya yang terpenting telah dibicarakan, tetapi masih cukup banyak yang belum diedit, apalagi dikaji secara ilmiah. Naskah-naskah kakawin yang dimaksud adalah naskah-naskah yang dikarang di Bali.
c)         Kidung
Karya sastra kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu dalam tiap baitnya dan bunyi tertentu (misalnya, a, i, u). Ketika berbicara tentang sastra kidung, Zoetmulder pertama-tama menekankan bahwa kidung adalah kata Jawa asli. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk menulis sebuah penelitian komprehensif mengenai sastra kidung belum tiba. Alasannya antara lain adalah karena adanya cukup banyak  naskah-naskah kidung, tetapi hanya sedikit saja yang pernah diterbitkan dan lebih sedikit lagi yang pernah diterjemahkan (1983 : 510). Richard Herman Wallis dalam desertasinya secara teliti mengaitkan sastra kidung dengan musik Bali, serta menyebutnya juga sebagai “ ritual singing style” (1979 : 174-234).
d)         Geguritan dan Parikan
Geguritan dan Parikan adalah karya sastra Bali yang dibentuk oleh pupuh. Pupuh tersebut diikat oleh beberapa kaidah (disebut juga lingsa), yaitu banyak baris dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam  tiap baris, dan bunyi akhir tiap-tiap baris. Ada 46 buah pupuh yang telah dicatat, di antaranya 10 buah yang banyak dipakai. Karya sastra geguritan  yang jumlahnya ratusan itu, biasanya memakai bahasa Bali. Naskah-naskah yang memakai judul Parikan biasanya berupa saduran dari naskah-naskah parwa atau kakawin.
e)         Satua.
Satua adalah cerita rakyat Bali, sebagian besar dalam bentuk lisan. Kemudian dijadikan naskah (tertulis).
3)   Naskah-naskah Sejarah dan Mitologi.
Jenis naskah yang memuat uraian sejarah dan mitologi biasanya memakai judul babad, pamancangah (bancangah), Usana, Prasasti, dan uwug (rusak, rereg). Perbedaan masing-masing jenis naskah tersebut tidak jelas, kecuali naskah uwug yang biasanya khusus memuat uraian tentang kehancuran suatu daerah atau kerajaan karena perang misalnya. Naskah-naskah dengan judul babad di antaranya yang terbanyak ditemui.
Ada pula sejumlah naskah  sejarah yang yang tidak menyertakan istilah-istilah di atas dalam judulnya. Menurut Juynboll yang terpenting  adalah Ken Arok atau Pararaton, dan tattwa Sunda.
4)  Naskah-Naskah Pengobatan atau Penyembuhan.
Naskah-naskah pengobatan atau penyembuhan  yang biasa memakai judul usada sangat banyak jumlahnya, bahkan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyambut dengan sangat baik pendirian Baliologi, dengan harapan penelitian tentang usada diprioritaskan karena keberadaannya semakin dirasakan oleh umat manusia.
5) Naskah-naskah Pengetahuan Lain :
Ada beberapa naskah yang dapat dikelompokkan karena menguraikan       pengetahuan tertentu misalnya :
a.         Kearsitekturan : Asta Kosala-Kosali, Asta bhumi, Swakarma, Wiswakarma, kode etik arsitek tradisional (dharmaning sangging), dan uraian tentang hal-hal yang berhubungan dengan upacara penyucian bangunan (pemlampas).
b.                  Lexikographi dan Tata Bahasa : naskah-naskah dengan judul Adiswara,  Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama, Ekalawya (tidak saja memuat daftar kata, juga memuat sejumlah makna sinonimnya.
c.                  Krakah : uraian beserta makna dari suatu istilah dalam naskah-naskah tertentu, diantaranya ; krakah sastra, krakah modre.
d.                  Hukum : Adigama, Dewagama, Kutara Manawa, Purwadigama, corak khas Bali : Kretasima, kretasima subak, Paswara, Awig-awig.
e.                  Astronomi ; biasanya memakai judul wariga dan sundari, naskah ini banyak dijumpai dan jumlahnya cukup banyak.
f.                    Mistik ; atau kawisesan
g.                      Ramalan/tenung.
h.                      Prembon
B.     Bahasa Yang Digunakan Dalam Naskah
1)      Bahasa Sanskerta
Bahasa Sansekerta adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di wilayah India dan telah digunakan secara tekstual setidak-tidaknya sejak abad ke empat Masehi. Fenomena tersebut didasarkan atas ditemukannya prasasti berbahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Palawa. Aksara ini digunakan oleh raja-raja dinasti Palawa di India Selatan. Bahasa ini juga digunakan dalam teks Hindu yang tersebar luas di wilayah Asia, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Meskipun demikian, dewasa ini bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi atau sebagai bahasa mati. Oleh karena itu, bahasa ini hanya bisa dipelajari melalui teks-teks klasik. Dengan demikian, teks klasik di samping harus diketahui isinya dengan menggunakan bahasa Sansekerta sekaligus juga memberikan bahan pelajaran bahasa Sanskerta bagi kita.
2)      Bahasa Jawa Kuna
Pengaruh bahasa ini sangat terasa terutama pada karya-karya sastra Jawa Kuna. Tidak hanya berupa penyerapan kosa kata dan frasa melainkan juga kutipan-kutipan yang disalin begitu saja tanpa diikuti terjemahan. Pengaruh seperti ini terlihat pada kakawin Ramayana, Utarakanda, dan Sang Hyang Kamahayanikan. Terhadap teks baik yang berbahasa Jawa Tengahan, bahasa Jawa Baru, bahasa Melayu, dan bahasa daerah lainnya hanya terlihat pada kata serapan baik yang berupa kosa kata maupun frase. Kata “pujangga”, “suwarga”, “puasa” adalah merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta.
3)      Bahasa Bali
Bahasa Bali adalah bahasa ibu bagi masyarakat etnis Bali yang tinggal menetap di Pulau Bali yang sampai sekarang ini masih tetap eksis dipakai sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Namun seiring dengan kepadatan penduduk pulau Bali dan semakin sedikitnya lahan tanah Bali. Maka masyarakat Bali pergi bertransmigrasi ke Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan maupun daerah-daerah provinsi lainnya. Akan tetapi bahasa Bali sebagai bahasa ibu masih tetap dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat Bali terutama di kalangan orang tua.
Bahasa Bali tidak hanya dipakai sebagai bahasa pergaulan dalam adat dan keagamaan Hindu, tetapi pengaruh bahasa Bali dengan huruf Balinya masih eksis dipakai dalam karya-karya sastra baik yang klasik maupun modern. Terbukti pada karya-karya sastra prosa maupun puisi. Misalnya Tantri Kandaka, Kidung, Macapat dan puja saha.
Keberadaan bahasa Bali bertambah eksis dan mendapat perhatian dari pemerintah khususnya pemerintah Bali yang mewajibkan setiap sekolah dari SD sampai SMA muatan lokalnya adalah bahasa Bali. Tidak hanya itu saja Universitas Udayana pada Fakultas Sastra membuka Program Bahasa Bali. Jadi Bahasa Bali di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih tetap mendapatkan kedudukan yang hampir sama dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
4) Bahasa Arab
    Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi  Muhammad saw sebagai sumber hukum agama Islam, serta digunakan dalam upacara upacara ritual peribadatan, seperti shalat, berdoa, haji, dan upacara ritual lainnya. Sebagai bahasa sumber hukum agama Islam dan bahasa upacara ritual peribadatan, setiap muslim wajib hukumnya memahami semua aturan dan konsep-konsep dasar yang tercantum di dalamnya, dan juga semua ucapan-ucapan, doa, dan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam melakukan peribadatan atau upacara ritual supaya memahami betul apa yang telah dilakukan sehingga dapat mencapai tingkatan khusuk. Untuk bisa memahami kedua sumber hukum dan ungkapan-ungkapan tersebut maka syarat utamanya ialah memahami bahasanya, yaitu bahasa Arab. Dalam pondok pesantren, bahasa Arab sering disebut sebagai ilmu alat, yaitu alat untuk memahami agama.
Bahasa Arab itu adalah bahasa fleksi yang setiap kosa katanya memiliki makna gramatikal, sedangkan bahasa Melayu bukan bahasa fleksi dan kosa katanya pun bermakna leksikal. Perbedaan inilah yang merupakan salah satu penyebab kesulitan orang Melayu memahami bahasa Arab. Itulah sebabnya, hanya para ulama, cerdik cendekia dan pemimpin agamalah yang mampu memahami bahasa Arab sebagai kunci untuk memahami permasalahan agama, sedangkan umat hanya menerima hasil penerjemahan dan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama, pemimpin, dan tuan guru mereka. Para ulama dan cerdik pandai tersebut ternyata tidak hanya menerjemahkan dan menafsirkan kitab suci tetapi juga memberikan ilustrasi konsep-konsep agama dengan memberikan cerita, hikayat, dan legenda.

C.    Aksara Yang Digunakan Dalam Naskah
1)       Palawa
Aksara ini digunakan untuk menuliskan bahasa Sansekerta di kerajaan Palawa di India Selatan. Menurut J.G. Casparis (melalui Soelastin Soetrisno, :98) di luar kerajaan Palawa, tulisan ini digunakan di Asia Tenggara yang termasuk daerah pengaruhnya, yaitu mulai dari Vietnam Selatan, Kamboja, Muangthai Selatan, semenanjung Malaya, dan wilayah Nusantara. Menurutnya, Aksara Palawa ini ada dua macam, yaitu Palawa Awal dan Palawa Lanjut.
a.  Palawa Awal (300 M – 500 M)
Aksara ini ditemukan pada prasasti Kutai (Yupa) di Kalimantan Timur. Sebuah prasasti yang berisi persembahan raja yang ditujukan kepada para agamawan. Menurut J.P. Vogel (Sedyawati, 2004:16) tulisan ini memiliki hubungan dengan tulisan pada inskripsi di Vietnam dan Sri Langka serta dengan prasasti yang diterbitkan oleh dinasti Palawa di India Selatan. Dari tipe tulisannya yang menunjukkan hubungan antardaerah tersebut, prasasti Kutai (Yupa) oleh Vogel penanggalannya diperkirakan sekitar 400 M. Hal ini bertalian erat dengan prasasti di Ciaruteun yang diperkirakan penanggalannya pada 450 M. Dengan demikian, tulisan Palawa awal digunakan pada sekitar tahun 300 M – 500 M
b.   Palawa Akhir (700 – 800 M)
Aksara ini merupakan suatu sistem tulisan yang dipakai dalam prasasti Sriwijaya, seperti prasasti Telaga Batu, Kedukan Bukit Talang Tuwo, Palembang, Kota Kapur, dan Karang Brahi yang sebagian besar di tulis pada sekitar abad ketujuh. Dalam catatan musafir Cina I Ching diceritakan bahwa ia singgah di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta dalam perjalanan ke India, tempat ia akan menekuni teks-teks agama Buddha. Dalam akhir abad kedelapan Sriwijaya dikenal karena perkembangan ilmu agama Buddha, tetapi sebelum itu rupanya sudah menjadi tempat menimba ilmu. Dapat diperkirakan bahwa pada saat itu penggunaan bahasa Melayu dengan sentuhan bahasa Sanskerta (terutama pada kegiatan tulis menulis) telah mengalami kemajuan dengan didapatinya penggunaan tulisan dengan huruf Palawa akhir yang suratannya canggih.
2)       Kawi (900 – 1700 M)
Aksara Palawa yang digunakan pada abad ke tujuh dan delapan Masehi telah mengalami perubahan sejak memasuki abad ke sembilan sehingga berbeda dengan aksara yang digunakan di India. Aksara baru tersebut dinamakan aksara “Kawi” dan digunakan selama sekitar 800 tahun di hampir seluruh kawasan Nusantara termasuk Melayu. Aksara Hanacaraka di Jawa dan Bali diturunkan secara langsung dari aksara Kawi.
3)      Aksara Arab / Aksara Jawi (1400 – Sekarang)
Aksara Arab digunakan dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan lafal bahasa Melayu. Lafal c, g, p, dan ng ditulis dengan memodifikasi huruf (Ì ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “c“, huruf ( ß ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “g“, huruf (Ý ) yang diberi titik tiga di atasnya untuk lafal “p”, sedangkan huruf ( Ú ) yang diberi titik tiga di atasnya untuk lafal “ng”. Meskipun sebagian besar menggunakan akasara Arab namun orang Melayu lebih senang menggunakan aksara hasil modifikasi ini dengan menyebutnya aksara Jawi.
Aksara Jawi ini digunakan untuk menuliskan hampir semua naskah Melayu, baik yangberasal dari wilayah Nusantara (Indonesia) maupun Malaysia. Penggunaan aksara dengan modifikasi seperti di atas juga didapati di berbagai pesantren di Jawa untuk kepentingan penulisan makna dan tafsir Al-Qur’an, hadis, dan buku-buku yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa dan dinamakan sebagai huruf “pegon”. Besar kemungkinannya modifikasi huruf Arab tersebut telah digunakan lebih dahulu di kalangan pesantren di Jawa kemudian baru digunakan untuk menuliskan teks Melayu. Itulah sebabnya orang Melayu menamakan aksara tersebut sebagai aksara Jawi.
4)      Aksara Latin (1800 – sekarang)
Aksara Latin digunakan untuk menuliskan naskah-naskah Melayu yang telah ditransliterasikan atau naskah-naskah Melayu yang diterbitkan oleh penerbit yang bertujuan untuk memperkenalkan teks Melayu kepada Masyarakat umum (selain Melayu). Di samping itu, juga digunakan untuk menerbitkan surat kabar dan tidak jarang di dalam surat kabar tersebut juga terdapat teks cerita, hikayat, dan pantun. Untuk kepentingan penelitian filologi, sebaiknya menggunakan teks yang bertuliskan aksara Arab atau aksara Jawi tulisan tangan sebab naskah demikian merupakan data primer, sedangkan teks yang ditulis dalam huruf Latin biasanya berupa hasil penelitian para orientalis yang kemudian diterbitkan dalam bentuk cetakan sehingga merupakan data sekunder.
D.      Upaya Penyelamatan Naskah
            Usaha pencatatan naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Dr. Haryati Soebadio dengan kawan-kawan dari Universitas Indonesia (1973), Institut Hindu Dharma (1975), dan Jurusan Bahasa dan sastra Bali Fakultas Sastra UNUD (1977 dan 1981), memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat Bali masih tersebar naskah-naskah klasik yang sebagian besar di tulis di atas daun rontal. Naskah-naskah tersebut, disamping dimiliki oleh orang-orang yang berminat pada naskah-naskah tersebut, tetapi tidak sedikit menjadi koleksi orang-orang yang secara kebetulan mewarisinya dari orang tuanya.
Oleh karena itu naskah-naskah tersebut sering tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga ada kecendrungan untuk rusak, lapuk, atau mungkin terjual kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diketahui Pulau Bali berada di daerah tropis dan beriklim lembab, iklim yang demikian akan mempercepat lapuk dan rapuhnya naskah-naskah rontal tersebut. Penyelamatan naskah-naskah rontal sesungguhnya telah dilakukan kolektor-kolektor rontal di Bali maupun di Lombok yang jumlahnya relatif banyak. Adanya peringatan hari suci Saraswati yang datang setiap 210 hari, dimana para kolektor naskah mengumpulkan naskah yang dimilikinya (membersihkannya) adalah kegiatan penyelamatan massal yang penting artinya. Disamping itu adanya usaha menyalin  rontal-rontal tertentu oleh para agamawan dan budayawan, adalah usaha penyelamatan yang cukup penting pula. Tetapi mungkin mustahil sejumlah rontal (yang mungkin sangat penting) dapat terlepas dari perhatiannya.
            Pada tahun 1928 didirikanlah Gedong Kirtya di Singaraja. Tujuan pendiriannya dengan tegas dinyatakan untuk melacak, menyelamatkan dan memelihara naskah-naskah rontal, baik yang berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Bali dan Sasak. Disamping Gedong Kirtya Singaraja, Lembaga rontal Fakultas Sastra UNUD memiliki juga sejumlah rontal sekitar 750 buah, sedangkan di luar Bali naskah-naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Perpustakaan Universitas Negeri Leiden Belanda dan sebagainya.
Dr. Haryadi Soebadio pernah menyatakan bahwa  usaha penyelamatan naskah kuna tentu saja tidak meliputi sekedar penyimpanan atau pembuatan copy, melainkan juga diupayakan dengan cara penggunaan teknologi canggih seperti pembuatan mikro film dan sebagainya. Pada masyarakat Bali dan Lombok masih banyak tersimpan naskah-naskah rontal penting dan perlu diusahakan penyelamatannya. Misalnya penemuan rontal Negarakertagama tahun 1894 oleh J.L Brandes di Puri Cakranewgara. Dan sekarang naskah itu sudah dikembalikan ke Indonesia lewat Presiden Suharto.







BAB III
DASAR-DASAR FILOLOGI

A.      Beberapa Istilah dalam Filologi
Beberapa istilah yang harus diketahui dalam penelitian filologi yaitu sebagai berikut :
1.    Autograph (autobiografi) ; naskah asli, khusus ditulis oleh pengarangnya sendiri. Disini dibedakan antara pengarang  dengan penulis. Sebab kadang-kadang  pengarang bukan penulisnya sendiri itu bukan autograph. Yang dimaksud autograph yaitu pengarang sekaligus penulisnya. Ini adalah asli  sebenar-benar asli sebagai sumber. Jika terdapat autrograph, maka kita dapat mengabaikan naskah-naskah yang lain.
Timbul pertanyaan, bagaimana caranya kita mengetahui bahwa naskah itu autograph ? jawabnya tidak begitu mudah untuk menetapkannya. Syarat-syaratanya antara lain harus tahu benar ciri-cirinya; bentuk tulisannya, nama pengarangnya/penulisnya terdapat pada naskah itu.
          Pada umumnya naskah-naskah Jawa, Bali, Melayu, sukar ditentukan  naskah  dalam bentuk aslinya/autographnya. Suatu naskah yang berbentuk  autograph dapat dijumpai pada Hikayat Bugis, Makasar. Karena disana ada tradisi penulis menuliskan  pada catatan harian, dengan menuliskan tanggal dan bagian-bagian absen, misalnya ;
Tanggal 28 ........................        )
Tanggal 29 ........................ absen  ) autrograph
Tanggal 30 .......................        )
Tanggal 1 .........................        )
Kemudian juga terjadi  ‘ slip of the pen. Bila terjadi demikian  apa yang seharusnya kita perbuat jika kita ingin menerbitkannya ?. disini tinggal  subyektivitas kita  (dilihat dari diri penyalin). Mungkin sekali ‘ apa yang kita sangka’ suatu kesalahan, ternyata memang  disengaja oleh seorang pengarangnya. Kalau terjadi demikian maka harus diterangkan  dalam foot note /catatan kaki ( aslinya demikian..., menurut pendapat saya ........) sebagaimana yang terdapat dalam naskah. Jika kita ingin mengisi ‘ apa yang kita sangka itu’.
2.    Constitucio textus (konstitusi teks) yaitu; penetapan teks.
3.    Recensio (resensi), yaitu Pertimnbangan atau Penilaian naskah. Usahakanlah sebanyak mungkin naskah sebelum  mengadakan pertimbangan. Dimana kita mencarinya, mungkin dalam perpustakaan, koleksi pribadi, seringkali terdapat catalogusnya (kumpulan buku/rontal). Tetapi pada umumnya baik di Indonesia maupun di Eropa masih banyak  koleksi yang belum ada catalogusnya. Bila penerbitan ‘awur-awuran’ saja misalnya hanya satu naskah saja sebagai bahan, maka hal ini sangat terlarang (tidak ilmiah). Beberapa contoh dapat dikemukakan disini.
Doorenbos pada tahun 1935 menerbitkan “ Hamzah Fansuri”, yang hanya mempergunakan  satu naskah saja, yaitu naskah dari Leiden (universitas tertua di Belanda). Padahal di Jakarta ada satu naskah yang lebih baik, berdasarkan recensi G.W.J. Drewes, akhir-akhir ini Dr. Alatas (Kualalumpur) menerbitkan juga, tetapi ia tidak  juga memakai naskah yang ada di Jakarta.
Walaupun kita sudah menemukan  ‘ autograph’ nya boleh mengabaikan naskah-naskah lainnya, tetapi masih berkewajiban menuliskan naskah-naskah lainnya itu dalam pendahuluan, dengan menguraikan  segala ciri-ciri naskah tersebut supaya jelas bagi pembacanya. Pada dasarnya Cuma ada dua kemungkinan :
1.    Autograph
2.    Salinan (copy)
Umumnya sesudah copy ( C ) maka ada C1, C2, C3 dan seterusnya. Makin banyakisalin makin banyak kemungkinan kesalahan-kesalahan (pada waktu menyalin).
4.    Examinattio (ujian) , yaitu menguji naskah. Kalau digolongkan menurut cacat yang terdapat dalam naskah, maka dapat terjadi :
a.         Subtition, penggantian karena kesalahan tulis, misalnya : sambar menjadi sambu, ini menimbulkan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan.
b.         Lacuna, terlampaui (contoh lihat di depan)
c.         Haplologi :
1)    Dalam aslinya dua huruf di tulis
2)    Dalam salinan (copy) satu kali ditulis
Misalnya ; ……… berdandan perak di tulis ------- berdan perak.
Sebaliknya dari Haplologi yaitu “dittography” mestinya satu kali di tulis, malah ditulis dua kali. Misalnya ;
                                         s (en) i nagara
Sang sinagara
                                         si (na-r) nagara
Kadang-kadang terdapat kalimat-kalimat yang terbalik, bertukar tempat, karena kesalahan tulis oleh penyalin yang lupa atau kurang teliti. Hal ini dalam filologi disebut “ transposition”. Kadangkala ada naskah yang rusak sekali kalimat-kalimatnya, jika terjadi perbaikan naskah berdasarklan pemikiran kita sendiri disebut “emandatio”. Ini bisa dilakukan dalam keadaan terpaksa sekali. Istilah lain  sering dipakai yaitu “ conjectura”, yang dimaksud yaitu persangkaan/pikiran, tetapi harus dengan hati-hati jangan terlalu mudah melakukan ini, sebab hal itu harus dilakukan karena dalam keadaan terpaksa.
5.      Corruptela, yaitu kata-kata yang harus diperbaiki, disebut juga  conjuntura.
6.      Lacuna (yang sering terjadi), yaitu suatu kata yang tidak ditulis, karena dilampaui  
 (hilang atau kosong).
7.     Interpolatio, yaitu kata yang sebenarnya tidak ada, tetapi disispkan oleh penulis (penyalin)
8.    Variant, yaitu bila ada dua kata yang berbeda, tetapi tidak diketahui mana yang betul, maka keduanya harus dituliskan.
9.    Crux, yaitu suatu bagian  karangan yang gelap, tetapi kita tidak dapat memperbaharui/ memperbaiki, maka dibiarkan seperti apa adanya. Tentang crux ini di Yunani seringkali dipakai dengan tanda       (salib)
10.         Arkhetypus ; jika naskah asli sudah tidak ada lagi, tetapi telah disalin dua kali (A dan B) ini disebut Arkhetypus. Dalam hal ini kedua naskah A dan B harus dipakai sebagai “seksi” (section).
Jadi arkhetypus tidak sama dengan “autograph”. Seperti skema di bawah ini :
                        X (asli tidak ada lagi, tetapi telah disalin
                                                dua kali ( A dan B)
                     A                                    B        
                 A dan B inilah arkhetypus

Atau                Autograph


                                    Arkhetypus
                   A                  B    

            Kalau terjadi perbedaan satu kata/kalimat pada naskah A dan B bagaimana kita memilihnya ? Kalau sama antara naskah A dan B (tidak ada perbedaan) maka itu dapat dipastikan sebagai arkhetypus, dan kalau berbeda terjadi “variant” (terjadi perbedaan disebut variant). Jadi harus dijelaskan juga variant yang ada. Apabila kita menerbitkan salah satu dari naskah A  atau B. Cara penerbitan semacam ini sering juiga dilakukan :
a)             Sebagai foot-note
b)             Buku tersendiri, yang disebut “apparatus-criticus”.
Itu kalau salinan ada dua, tetapi kalau salinan itu ada 3 (A, B, C). Jika dua yang sama (A = C), sedang B berbeda. Kalau terjadi demikian, maka dua yang sama yaitu (A=C) bias dipakai, sedangkan B yang berbeda boleh diabaikan.
            Sekarang apabila ada empat naskah salinan, yang nyata-nyata merupakan dua kelompok, yaitu kelompok (A, B) dan kelompok (C, D ).  Itu dapat terjadi demikian: X adalah arkhetypus, pernah disalin dua kali yaitu Y dan Z, salinan keduanya (YZ) hilang, maka Y dan Z itu disebut ‘ hyparkhetypus’. Sedangkan kelompok (AB) yang disalin dari Y yang telah hilang dan kelompok (CD) yang disalin dari Z yang telah hilang. Kedua kelompok tersebut merupakan silsilah :
                                                X         =          arkhetypus (dua kali disalin)
                                   
                                 Y                                      Z
                       
                  A                  B          C               D          

Y dan Z hilang disebut “hyparkhetypus”. (AB) (CD) merupakan silsilah.
Kemungkinan seperti di bawah ini tidak mustahil akan terjadi
A = B = C = D. jadi variant kemungkinan lebih banyak dan kedua-keduanya variant harus disebutkan. Kalau B = C; maka A = D, jadi B dan C dari X, sehingga Y = Z, maka A dan D boleh diabaikan. Akibatnya sejumlah variant setelah dibaca dan dibandingkan dapat diabaikan saja. Kemungkinan lain lagi
Autograph

                                                                              Arkhetypus
                                                X                                             Y

                      A                                  B                 C                               D

Antara ABCD, sukar ditentukan mana yang lebih asli ? Seringkali terjadi ‘ kombinasi perbedaaan antara ABCD, misalnya :
AB = … permata yang indah-indah ….
CD = … permata yang elok-elok …
Apabila terjadi demikian, maka boleh salah satu (AB) atau (CD), dengan memberikan foot note pada salah satunya (yang tidak dipilih). Masih ada kemungkinan lain lagi :
(C) ………..) diberi persalin dengan baju
(B) ………..) beberapa kain dan baju
(AD) ……..) – (kain)
Apabila terjadi demikian mana yang boleh dipilih ? Maka jawabannya yaitu (AD), (karena CB berbeda). Keterangan ini semua termasuk dalam ‘recentio’, hubungan tahap-tahap itu sering berkaitan.
            Usaha memperbandingkan naskah, kata demi kata baris demi baris disebut “ collatio” (pekerjaan yang paling berat dalam filologi). Sesudah memilih beberapa naskah kemudian harus membandingkan semua teks, baru mengadakan ‘interpretasi’ dengan cara memperhatikan ‘lectio’ (bacaan kalimat), seperti pada contoh di atas - - beberapa baju, kain dan baju, kain ----
Dua hal lagi mengenai mengenai recentio, yaitu tentang 1) lacuna dan 2) colophon. Menetapkan jika dua naskah yang salah satunya merupakan salinan dari yang lain. Pertama yaitu lacuna (kesalahan tulis), yang salah satu/beberapa kata dilampaui misalnya :
A = …. kain baju
B = …. kain dan baju, maka pada (A) terjadi lacuna yaitu (dan). Dalam hal ini (A) tidak mungkin (B) disalin dari (A), seharusnya (A) disalin dari (B). Kedua yaitu ‘colophon’ satu jalan yang lain yaitu memakai colophon. Naskah-naskah Melayu, Jawa, Bali, sering kali memuat colophon, yaitu menyebutkan tanggal dan tahun,  nama tempat dimana dan kapan naskah itu disalin (kadang-kadang juiga berupa sandi; candra sangkala)
Dalam hal ini kita ambil contoh Hikayat Banjar, yang mempunyai Sembilan naskah.
Naskah A = Jumat II 1264 H = 1847 M
            BE = 1815 M
            CF = 1834 M
            G  = 1844 M
            H  = 1828 M
Berdasarkan angka-angka tahun (colophon) tersebut dapat dipakai sebagai bantuan untuk menyusun “silsilah” naskah itu. Tetapi harus tetap waspada. Sebab kemungkinan terjadi penyalinan yang memakai angka tahun (colophon) dari naskah yang disalinnya. Artinya bukan diambil dari angka tahun kapan disalinnya. Kalau terjadi demikian, maka jelas pasti ada dua naskah yang salah satunya salinan dari yang lain. Sebab kadang-kadang tidak hanya salahan tulis dalam menyalin itu (menyalin dengan tidak usah membaca, pembaca sendiri kecendrungan untuk memperbaiki, tetap ada).
Jika terjadi hal demikian, maka untuk kepentingan ‘silsilah’ lebih baik pilih yang pertama, yaitu menyalin dengan tidak usah membaca. Dalam Hikayat Banjar terdapat pada naskah G dan H, karenanya J.J. Ras mengabaikan saja.
B.       Ilmu Bantu Filologi
Secara rinci ilmu bantu yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam teks adalah sebagai berikut.
1.      Paleografi
Paleografi adalah ilmu yang mempelajari bermacam-macam tulisan (huruf ) kuna (Soelastin- Soetrisno dalam Baroroh Baried, 1983:97). Menurut (Niermeyer, 1974:47) paleografi mempunyai tujuan utama menjabarkan tulisan kuna karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca. Di samping itu, juga bertujuan menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum sebuah tulisan sehingga dapat ditentukan waktu dan tempat setiap bentuk tulisan dari aksara yang digunakan. Semula paleografi digunakan untuk membaca tulisan kuna yang terdapat dalam prasasti, namun pada saat sekarang juga digunakan untuk membaca tulisan kuna yang ada dalam naskah. Aksara yang digunakan dalam Prasasti Brahmi (100 – 400 M) Pengenalan aksara, dalam arti telah ditemukan artefak yang bertuliskan aksara, paling dini di wilayah Indonesia adalah dengan ditemukannya aksara Brahmi yang terdapat pada pecahan gerabah di Bali yang dipastikan berasal dari kurun waktu antara 150 M dan 200 M. Tulisan ini digunakan di India tenggara pada periode 100 – 400 M. Menurut Hunter (via Kumar, 1996: xv) adanya penemuan gerabah tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi jaringan dagang internasional yang luas dari cina ke Timur Tengah melalui India dan Asia Tengara yang keberadaannya sudah berkembang sejak milenium pertama Masehi. Menurut Coulmas (1989:182) dari aksara Brahmi inilah sistem aksara di Indonesia dapat dirunut. (lihat aksara yang digunakan)
2.      Etimologi
Etimologi adalah ilmu yang menyelidik mengenai asal-usul kata serta perubahanperubahannnya. Ilmu ini diharapkan dapat mengungkap sejarah kosa-kosa kata dengan melakukan penelitian penggunaan kata dari waktu ke waktu secara diakronis. Hasil penggunaan konsep kata dari penelitian tersebut secara sinkronis dapat ditentukan masa penulisan teks. Kata “penengaran” misalnya, adalah bentuk arkaik dari kata “pendengaran”. Kata tersebut digunakan pada abad keenam belas sampai pada abad kedelapan belas Masehi. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa teks yang menggunakan kata tersebut setidak-tidaknya ditulis paling akhir pada abad ke delapan belas. Di samping itu, penelitian secara etimologis juga dapat digunakan untuk memahami perubahan konsep makna bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang secara kultural dan struktural terkait dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Kata “ulama” misalnya, kata ini pada abad keenam belas digunakan dengan konsep makna “cerdik pandai”, sedangkan pada abad kesembilan belas telah digunakan dengan konsep makna “ahli dalam bidang agama”. Penggunaan konsep makna pertama justru muncul dalam masyarakat yang mayoritas agamanya adalah Islam atau masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh sistem religi berdasarkan agama Islam, sedangkan penggunaan konsep makna yang kedua muncul pada masyarakat yang sekuler yang mencoba memisahkan antara kehidupan beragama dengan kebudayan profan.
3.  Etnolinguistik
Dalam kamus linguistik (Kridalaksana, 1983:42) dinyatakan bahwa etnolinguistik ialah cabang lingusitik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan; atau cabang liguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa. Ilmu ini sangat berguna untuk penelitian teks lisan baik yang bergenre mite, legenda, dan dongeng. Di samping itu juga sangat berguna untuk menentukan varian bahasa Melayu rendah.
4. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial.
5. Stilistik
Secara umum, stilistik adalah ilmu yang membicarakan tentang gaya yang digunakan oleh pengarang dalan karya tulisnya. Dengan berbekal stilistik seorang filolog secara Sinkronik dapat memahami dan menjelaskan dari struktur kelas mana pengarang teks berasal, pembaca yang bagaimana yang diharapakan teks, dan pada masa kapan teks tersebut di produksi. Di samping itu, juga dapat dilacak secara diakronik perbedaan penerbitan teks dari masa ke masa. Penelusuran secara sinkronik, terhadap gaya bahasa teks dapat membantu filolog dalam pencaharian teks asli atau mendekati teks aslinya dan dalam penentuan usia teks.
6. Ilmu Sastra
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar teks variabel yang dijadikan objekpenelitian filologi adalah berupa teks sastra. Keadaan ini menuntut filolog untuk menguasai ilmu sastra bila ingin mengungkap makna teks yang juga dapat dilanjutkan untuk untuk memahami kebudayaan yang tersirat dalam teks. Oleh karena itu, penguasaan ilmu sastra merupakan syarat dasar yang harus dimiliki oleh seorang filolog.Baik itu yang digunakan untuk penelitian objektif, mimetik, reseptif, maupun ekspresif. Di samping itu, pemanfaatan sosiologi sastra juga dapat membantu untuk mengungkapkan digunakan Ilmu Pengetahuan keagamaan filsafat ilmu hukum sejarah anthropologi folklor.
7.    Tekstologi :
Tekstologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk teks, yaitu meliputi penjelmaan
dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Untuk memahami penjelmaan dan penurunan teks, peneliti harus memahami terlebih dahulu karakteristikpenurunan teks berikut dengan karakteristik tiap-tiap jenis teks, sedangkan untuk menafsirkan eksistensi teks berikut dengan pemahaman isinya peneliti hendaknya memahami penelitian teks.
C.     Kritik teks
Istilah kritik dalam pergaulan biasa sering diartikan “celaan” (baik ataupun buruk). Arti sebenarnya dalam ilmu adalah “ menempatkan karya (naskah) itu pada proporsi yang sebenarnya, agar tepat memberikan evaluasi. Kata “ kritik “ secara etimologi dapat diterangkan sebagai berikut :  kritik berasal dari kata “crites” yang berarti menuntut kesalahan, disini berfungsi sebagai jaksa, tapi dapat juga berfungsi sebagai hakim yang memberi keputusan/evaluasi.
Dalam menyelidiki naskah-naskah di Indonesia perlu diperhatikan :
1.    Memperbaiki tulisan ; karakter tulisan di Indonesia pada umumnya  berasal dari sekitar India yaitu “Pallawa” (berasal dari dinasti Pallawa), dalam pengertian “ambigius” (ruwet).
2.    Melakukan translitrasi, misalnya dalam mentranslitrasikan dari huruf sanskerta dan Jawa Kuna, kita harus menentukan sikap.
3.    Orthographi, ejaan atau ucapan yang benar. Orthos = benar, lurus; graphos = tulisan. Orthografi sebenarnya berhubungan dengan linguistiks-historio. Misalnya pada Yunani Kuna, fonem ph, masih dibunyikan p dan h, sedang yang baru dibunyikan f (misalnya “philosophos) menjadi filosofos. Juga bunyi ae pada kata prae masih dibunyikan ae.
4.    Mengikuti ejaan baru atau tidak. Dalam hal ini Negarakertagama (Java in the Fourteenth Century) oleh Dr. Th. Pigeaud tidak konsekuen dalam sikapnya.
5.    Apakah naskah itu dari jamannya (tertentu)
6.    Naskah apa yang kita hadapi itu.
Penyajian kritik teks dalam penelitian ini disertai dengan adanya aparat kritik (aparatus criticus). Menurut Mulyani (2009b: 29) aparat kritik (aparatus criticus) adalah pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan bacaan (variae lectiones atau varian) yang ada dalam suntingan teks atau penyajian teks yang sudah bersih dari korup. Oleh karena itu, aparat kritik digunakan untuk menjelaskan segala perubahan, pengurangan, dan penambahan yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah dalam suatu penelitian naskah. Jadi, apabila dalam suatu penelitian diadakan perubahan, penambahan, maupun pengurangan maka dicatat dalam aparat kritik. Penyajian aparat kritik dalam suntingan disebutkan oleh Mulyani (2009b: 29-30) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dicantumkan di bawah teks sebagai catatan kaki atau (2) dilampirkan di belakang suntingan teks sebagai catatan halaman.









BAB IV
LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN FILOLOGI

Ada dua hal yang perlu dilakukan agar suatu karya klasik dapat dibaca atau dimengerti, yakni to present and to interprest is (menyajikan dan menafsirkannya) (Robson, 1994 : 2). Begitu pula dengan filologi, untuk menyajikan dan menafsirkan dalam penelitian filologi ada beberapa langkah yang diperlukan, secara berurutan adalah sebagai berikut :
A.      Pengumpulan Data atau Inventarisasi Naskah
Tahap pertama yang harus dilakukan dalam penelitian filologi adalah pengumpulan data yang berupa inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah adalah kegiatan mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus. Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus, yaitu naskah-naskah yang mengandung teks sejudul, yang dapat tercantum pada sampul naskah luar atau sampul dalam naskah. Meskipun demikian, menurut Saputra (2008: 81) tidak berarti bahwa naskah-naskah yang mengandung teks sejudul berarti mengandung teks sekorpus atau sebaliknya ada kemungkinan naskah-naskah yang tidak sama judulnya tetapi mengandung teks sekorpus.
Sebelum melakukan inventarisasi naskah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan teks atau naskah yang akan diteliti. Kemudian, teks dan naskah yang akan ditentukan untuk diteliti perlu dipertimbangkan dari berbagai segi. Menurut Surono (tanpa tahun: 5), penting tidaknya suatu naskah digarap perlu dipertimbangkan dari berbagai segi di antaranya adalah naskah dipertimbangkan dari segi bobot ilmiah, manfaat bagi pembangunan bangsa, dan sebagainya.
Pengumpulan data atau inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti metode studi pustaka dan metode studi lapangan (field research). Metode studi pustaka menggunakan sumber data berupa katalogus naskah yang berada di berbagai perpustakaan dan museum. Katalog adalah buku yang memuat daftar naskah Jawa yang ditulis tangan ataupun cetak yang menguraikan tentang keadaan naskah atau teks dengan ringkas (Mulyani, 2009a: 2). Di dalam katalog (Behrend, 1990) disebutkan bahwa jenis isi naskah Jawa beraneka macam, yaitu jenis (1) sejarah, (2) sarasilah, (3) hukum, (4) wayang, (5) sastra wayang, (6) sastra, (7) piwulang, (8) Islam, (9) primbon, (10) bahasa, (11) musik, (12) tari-tarian, (13) adat-istiadat, dan (14) lain-lain, yaitu teks-teks yang tidak dapat digolongkan ke dalam ketiga belas jenis tersebut dimasukkan ke dalam jenis teks lain-lain. Dalam metode studi pustaka, sumber yang digunakan sebagai acuan tidak hanya mengacu pada satu sumber. Sumber lain yang dapat digunakan selain katalog adalah berupa buku-buku atau daftar naskah yang terdapat di perpustakaan, museum, dan instansi lain yang menaruh perhatian terhadap naskah lama.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa kegiatan inventarisasi naskah selain dapat dilakukan dengan metode studi pustaka, juga dapat dilakukan dengan metode studi lapangan (field research). Metode studi lapangan (field research) merupakan kegiatan inventarisasi naskah yang dilakukan dengan mengadakan pelacakan keberadaan naskah di tempat penyimpanan, yaitu sebagai koleksi dari museum, perpustakaan, maupun koleksi pribadi perseorangan. Beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu dalam melakukan studi lapangan adalah tempat-tempat yang menyimpan naskah, sehingga diperlukan instrumen penelitian yang berupa kuisioner yang antara lain berisi pertanyaan tentang asal-usul naskah, pemilik naskah, fungsi naskah, dan kedudukan naskah tersebut. Hasil dari pengumpulan data atau inventarisasi naskah adalah berupa daftar mengenai sejumlah naskah (sekorpus) yang akan menjadi sumber data penelitian, yaitu judul naskah, nomor koleksi, tempat penyimpanan, pemilik naskah, dan sebagainya. Saputra (2008: 82) berpendapat bahwa hasil dari inventarisasi naskah sekaligus memungkinkan dapat menentukan eliminasi naskah (pencoretan naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai alasan pada tahap awal).
Sebelum menginventarisasi naskah terlebih dahulu menentukan judul naskah yang akan diteliti. Mencari keberadaan semua naskah tersebut diberbagai katalog baik katalog milik perpustakaan, museum, dan kolektor naskah dalam maupun luar negeri Katalog Perpustakaan Nasional RI. Di bawah ini informasi sumber-sumber naskah adan teks :

1.      Catalogus der Maleische, Javaansche Kawi HSS van Bataviaasch, 1872 disusun Cohen Stuart. Katalog tertua.
2.      Catalogus der Maleische HSS in het Museum van het Bataviaasch van Kunsten en Wetenschaapen, 1909 disusun van Ronkel
3.      Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, 1972
4.      Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI, 1998
5.      Katalog Perpustakaan Belanda Juynboll 1899.
6.      Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handschriften.
7.      Ronkel van. 1921. Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handschriften in de Leidsche Universiteits Bibliotheek.
8.      Wieringa. E.P.1998. Catalogue of Malay and Mingangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and Other Collections in the Netherlands.
9.      Katalog Perpustakaan Inggris Ricklefs dan Voorhoeve.1977. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections.
10.  Katalog Perpustakaan MalaysiaHoward, H. 1966. Malay MSS. A Bibliographical Guide.
B. Deskripsi Naskah dan Teks
Deskripsi naskah adalah penyajian informasi mengenai kondisi fisik naskah-naskah yang menjadi objek penelitian (Saputra, 2008: 83). Selain melakukan deskripsi naskah, sebaiknya juga melakukan deskripsi teks, hal tersebut disebabkan karena yang menjadi objek dari penelitian filologi adalah naskah dan teks. Deskripsi teks adalah penjelasan untuk menggambarkan keadaan teks untuk memberikan keterangan bagaimana cara mengkaji teks yang akan diteliti (Mulyani, 2009a: 9). Deskripsi naskah secara terperinci dapat dilakukan setelah memperoleh naskah melalui inventarisasi naskah.
Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah adalah metode deskriptif. Semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah, ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon, garis besar isi cerita, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan tahap penelitian selanjutnya, yaitu berupa pertimbangan (recentio) dan pengguguran (eliminatio). Kemudian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan deskripsi naskah (Mulyani, 2009b: 31-32) adalah sebagai berikut.
1)        Koleksi siapa, disimpan di mana, nomor kodeks berapa.
2)        Judul bagaimana, berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama, atau  berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama.
3)        Pengantar (manggala dan doksologi), uraian pada bagian awal di luar isi teks: waktu mulai penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis, pujaan kepada Dewa Pelindung atau Tuhan Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi perintah atau nabi-nabi.
4)        Penutup (kolofon), uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu menyelesaikan penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis.
5)        Ukuran teks: lebar x panjang teks, jumlah halaman teks, sisa halaman kosong.
6)        Ukuran naskah: lebar x panjang naskah, tebal naskah, jenis bahan naskah, (lontar, bambu, dluwang, kertas), tanda air.
7)        Isi; lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen, hiasan gambar, prosa atau puisi, jika prosa berapa rata-rata jumlah baris tiap halaman, berapa rata-rata jumlah kata tiap halaman, jika puisi berapa jumlah pupuh, apa saja nama tembangnya, berapa jumlah bait pada tiap pupuhnya.
8)        Termasuk ke dalam golongan jenis naskah apa, bagaimanakah ciri-ciri jenis itu (harus diakui belum ada pembagian jenis naskah yang seragam).
9)        Tulisan:
Jenis aksara/huruf                    : Jawa/Jawi/Bali/Latin/Bugis/Lampung
Bentuk aksara/huruf                : persegi/bulat
Ukuran aksara/huruf                : besar/kecil/sedang
Sikap aksara/huruf                   : tegak/miring
Goresan aksara/huruf               : tebal/tipis
Warna tinta                              : hitam/coklat
Goresan tinta                           : jelas/kabur
10) Bahasa                                     : baku, dialek, campuran, pengaruh lain.
11) Catatan oleh tangan lain :
di dalam teks                            : halaman berapa, di mana, bagaimana
di luar teks pada pias tepi         : halaman berapa, di mana, bagaimana
12) Catatan di tempat lain               : dibicarakan dalam daftar naskah/katalogus/artikel mana saja, bagaimana hubungannya satu dengan yang lain, kesan tentang mutu masing-masing.

Pada sumber lain  deskripsi Naskah digambarkan  meliputi :
a)Judul naskah.
b)Tempat penyimpanan naskah.
c)Nomor naskah.
d)Ukuran naskah.
e) Jumlah halaman.
f) Jumlah baris pada setiap halaman
g) Bentuk huruf
h)  Bahasa
i)  Warna tinta
j)   Alas naskah
k)  Garis tebal dan tipis
l)  Kondisi naskah
m) Kolofon
n)  Gambar
o)Jilid naskah

Kolofon :
Penjelasan atau keterangan yang diberikan oleh pengarang atau penyalin yang biasanya menjelaskan tempat dan waktu awal atau akhir penulisan. Kolofon biasanya terletak di akhir naskah, namun sering juga dijumpai di awal naskah.
Gambar :
Gambar yang terdapat dalam naskah ada dua macam, yaitu ilustrasi dan iluminasi. Ilustrasi adalah gambar yang digunakan untuk memperjelas identifikasi tokoh, jalan cerita atau makna teks. Ilustrasi diberikan pada halaman-halaman tertentu dekat dengan halaman yang memuat tokoh, jalan cerita, atau makna teks.
Iluminasi :
Iluminasi adalah gambar yang berfungsi sebagai pembingkai sebuah teks yang biasanya terdapat pada halaman 1 dan 2. Iluminasi ada tiga jenis, yaitu :
1.Arlauh dekorasi yang membingkai seluruh teks,
2. Unwan dekorasi yang terdapat pada bagian atas teks, dan
3. Samsah dekorasi yang terdapat di tengah teks dan berbentuk oval.

Menurut Saputra (2008: 84), ada dua model deskripsi yang dapat digunakan, yaitu model tabel dan model paparan. Keduanya masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, kedua model deskripsi tersebut apabila diterapkan secara bersamaan akan saling melengkapi. Seperti telah disebutkan di atas bahwa deskripsi yang disajikan dalam bentuk tabel dan paparan, masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dari deskripsi yang disajikan dengan model tabel, yaitu deskripsi naskah dan teks menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca sedangkan kelemahannya, yaitu deskripsi naskah dan teks yang disajikan kepada pembaca kurang dapat membawa pembaca berimajinasi terhadap naskah yang dideskripsikan. Saputra (2008: 88) menjelaskan bahwa deskripsi naskah yang disajikan dengan model paparan, secara teknis lebih mudah diterapkan dan juga, lebih memberikan informasi yang luas mengenai segala hal yang berkaitan dengan naskah dan segala hal yang ditemui secara inderawi pada setiap halaman naskah.
Adapun kelemahan dari deskripsi model paparan, yaitu pembaca tidak dapat secara langsung mengetahui rincian informasi mengenai keadaan naskah yang dideskripsikan karena pembaca harus membaca deskripsi yang disajikan dengan paparan tersebut secara keseluruhan. Model deskripsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tabel dan paparan. Model tabel digunakan dengan tujuan agar deskripsi naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå dan teks Widjåjåkoesoemå menjadi lebih jelas dan mudah dipahami. Selanjutnya, hasil deskripsi naskah Sêrat Sêkar Wijåyåkusumå dan teks Widjåjåkoesoemå yang dibuat dalam bentuk/model tabel diperluas dengan deskripsi model paparan.
C. Alih Tulis Teks
Salah satu tujuan dari penelitian filologi adalah pengalihtulisan atau pengalihaksaraan suatu teks. Artinya, dengan adanya alih tulis pembaca dapat dengan leluasa membaca teks-teks lama peninggalan nenek moyang dengan bahasa yang dimengerti oleh pembaca masa kini. Menurut Mulyani (2009b: 20), suatu teks supaya dapat dibaca dan dipahami hendaknya teks itu (1) ditulis dengan aksara yang masih berlaku, (2) sudah dibersihkan dari tulisan yang ”rusak” (korup), dan (3) disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat masa kini. Tahap alih tulis teks terdiri atas transliterasi teks, suntingan teks, dan penyajian aparat kritik. Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga langkah kerja tersebut adalah sebagai berikut.
1) Transliterasi teks
Transliterasi teks merupakan salah satu tahap atau langkah dalam penyuntingan teks yang berupa penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Djamaris, 1977: 29). Misalnya, teks yang ditulis dengan huruf atau aksara Jawa dan Arab Pegon dialihtulis atau diganti ke huruf atau aksara Latin. Mulyani (2009a: 13) mendefinisikan transliterasi sebagai alih tulis yang disajikan dengan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang digunakan dalam naskah yang disalin. Sifat aksara pada naskah yang ditransliterasikan berbeda dengan aksara Latin. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan transliterasi teks. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam transliterasi teks (Mulyani, 2009b: 21) adalah sebagai berikut:
1)      Tata tulis aksara yang digunakan dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalih-tuliskannya.
2)      Sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata),
3)      Ejaan, yaitu untuk mempertahankan variasi ejaan naskah, pengejaan kata pinjaman terutama dalam teks yang berbentuk puisi, dan
4)      Pungtuasi, yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat (koma, titik koma, titik, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan tanda petik) serta tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian puisi, yaitu pembatas larik, pembatas bait, dan tembang.
Pada tahap transliterasi teks, seorang filolog mempunyai dua tugas pokok yang harus dilakukan. Pertama, menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah, khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan penulisan kata menurut EYD dengan tujuan agar bahasa lama dalam naskah tidak hilang. Kedua, menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku sekarang, khususnya teks yang tidak menunjukkan ciri bahasa lama yang disebutkan dalam tugas pertama di atas (Djamaris, 2002: 19-21).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada dua metode transliterasi yang dapat digunakan agar tugas filolog dapat tercapai, yaitu transliterasi diplomatik dan transliterasi standar. Transliterasi diplomatik, yaitu alih tulis dari aksara teks ke dalam aksara sasaran dengan tidak mengadakan perubahan pada teks yang disalin atau sesuai apa adanya, sehingga kemurnian teks dapat terjaga dengan mempertahankan bentuk aslinya dan tidak disesuaikan dengan pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Wiryamartana (1990: 30) menambahkan bahwa tujuan transliterasi dengan terbitan diplomatik, yaitu agar pembaca dapat mengikuti teks, seperti yang termuat dalam naskah sumber.
Tujuan lain dari adanya transliterasi dengan terbitan diplomatik disebutkan oleh Suyami (2001: 28), yaitu untuk memberikan deskripsi atau gambaran yang lebih jelas mengenai keseluruhan isi teks dengan apa adanya. Transliterasi standar adalah alih tulis yang merupakan pengulangan dari transliterasi diplomatik dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan untuk pemahaman teks (Wiryamartana, 1990: 32). Artinya, agar suatu teks dapat dipahami oleh pembaca maka teks dialihaksarakan dari aksara yang digunakan dalam teksnya ke dalam aksara sasaran dengan membetulkan teks-teks yang salah disesuaikan dengan suatu sistem ejaan yang benar atau disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Pada penelitian ini, metode transliterasi yang digunakan untuk mentransliterasi teks Widjåjåkoesoemå adalah metode transliterasi standar. Transliterasi standar digunakan untuk mengalihaksarakan teks Widjåjåkoesoemå dari aksara Jawa ke dalam aksara Latin yang kemudian disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku tanpa mengubah bentuk/ciri khas bahasa lama yang terdapat dalam teks Widjåjåkoesoemå. Hasil dari transliterasi standar tersebut merupakan dasar untuk melakukan suntingan teks agar teks yang dihasilkan bersih dari bacaan yang korup, sehingga dapat memudahkan pembacaan isi naskah bagi pembaca yang kurang paham terhadap huruf/aksara daerah dan untuk mempercepat pemahaman isi naskah dalam kepentingan penelitian naskah.
2) Suntingan teks
Setelah teks ditransliterasikan, langkah selanjutnya adalah mengadakan suntingan teks. Darusuprapta (1984: 5) mendefinisikan suntingan teks sebagai suatu cara yang dilakukan dalam langkah kerja penelitian filologi dengan mengadakan pembetulan-pembetulan, perubahan, penambahan, maupun pengurangan dengan harapan teks yang dihasilkan bersih dari segala kekeliruan.
Menurut Baroroh-Baried (1985: 69), suntingan teks dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a.       Suntingan teks edisi diplomatik : Suntingan teks diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah tesebut yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu dan juga, memperlihatkan cara penggunaan tanda baca yang tepat di dalam teks tersebut (Robson, 1988: 20). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suntingan edisi diplomatik dilakukan dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber. Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan serta ejaannya disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku.
b.      Suntingan teks edisi standar : menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidak-ajegan serta ejaannya disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku.
Di dalam suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata, pembagian kalimat, digunakan huruf kapital, pungtuasi, dan juga diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalam teks (Baroroh-Baried, 1985: 69). Suntingan teks dengan melakukan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti dengan tujuan agar teks dapat dimengerti dan dipahami isinya oleh pembaca. Pada penelitian ini, suntingan teks yang digunakan adalah suntingan teks edisi standar. Suntingan teks edisi standar dilakukan dengan mengadakan perbaikan pada bacaan yang korup ataupun tidak ajeg yang disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku pada masa kini.
3) Terjemahan Teks
Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa satu ke bahasa lain atau pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan teks dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang tidak paham dengan bahasa teks dapat memahami isi teksnya, sehingga amanat atau pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami oleh pembaca. Proses pemindahan bahasa saat melakukan terjemahan teks harus dilakukan secara teliti dan jelas agar didapatkan hasil terjemahan teks yang baik. Menurut Darusuprapta (1984: 9), keberhasilan terjemahan teks bergantung kepada beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut.
a)       Pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap bahasa sumber, yaitu bahasa yang diterjemahkan.
b)      Penguasaan yang sempurna terhadap bahasa sasaran, yaitu bahasa yang digunakan untuk menterjemahkan.
c)       Pengenalan latar belakang penulisan, baik tentang diri penulisnya maupun masyarakat bahasanya.
Metode terjemahan teks terdiri atas bermacam-macam metode. Menurut Darusuprapta (1984: 9), metode terjemahan teks tersebut dapat diringkas hanya menjadi tiga. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1)      Terjemahan harfiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.
2)      Terjemahan isi atau makna, yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
3)      Terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa sasaran secara bebas.

Terjemahan teks pada penelitian ini dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan ketiga metode terjemahan teks. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah terjemahan harfiah, terjemahan isi/makna, dan terjemahan bebas.

BAB V
KARAKTERISTIK TEKS DAN PENELITIAN TEKS

Secara umum, penelitian teks apakah teks lisan, tulis maupun cetak untuk mencapai tujuannya (sebagaimana yang telah dibahas pada sub-bab yang lalu) hendaknya memperhatikan karakteristik teks masing-masing. Teks sebagaimana pengertian yang telah dibahas pada bab terdahulu adalah kata-kata atau tulisan asli pengarang atau naskah asli yang ditulis oleh pengarang. Dari karya pertama tersebut kemudian diturunkan untuk berbagai kepentingan. Kepentingan yang pertama adalah kepentingan yang diinginkan oleh pengarangnya sendiri, yaitu untuk mempublikasikan atau mensosialisasikan hasil karyanya tersebut. Kepentingan kedua adalah kepentingan yang dikehendaki oleh pendengar atau pembaca karya tersebut karena ingin memiliki sendiri sebuah teks. Karakteristik penurunan teks yang berasal dari pengarang ada empat model :
Model pertama     ; teks sejak pertama kalinya memang berupa teks lisan.
Model kedua        ; Teks yang semula oleh pengarangnya diproduksi secara lisan tersebut
                              kemudian oleh pengarangnya diproduksi secara tulis.
Model Ketiga       ; teks sejak pertama memang berupa teks tulis.
Model keempat ;teks yang berupa karya tulis tersebut kemudian oleh pengarang disosialisasikan atau diproduksi lagi dalam bentuk lisan ketika pengarang tersebut diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil karyanya.
Karakteristik penurunan teks yang dilakukan oleh pembaca atau pendengar secara paradigmatik ada tiga model sebagai berikut :
Model pertama  : teks yang diproduksi oleh pengarangnya secara lisan oleh pendengarnya kemudian diturunkan secara tulis yaitu dengan menyalin atau mencatat semua yang didengar dari pengarangnya. Teks yang diturunkan dengan cara seperti ini oleh pendengarnya banyak mengalami perubahan sesuai dengan kemampuan mendengar dan menulis dengan cepat dan tepat yang dimiliki pendengar.
Model kedua             :   Teks yang diproduksi oleh pengarangnya berupa teks tulis oleh
                                    pembacanya kemudian diturunkan secara lisan.
Model ketiga             :   Teks yang berupa teks tulis kemudian oleh pembacanya
                                    diturunkan secara tertulis juga.
A.      Karakteristik Teks Lisan
Kepandaian keterampilan berkomunikasi manusia yang pertama-tama diperoleh ialah keterampilan berkomunikasi secara lisan. Keterampilan ini diperoleh manusia karena mereka memiliki rongga mulut yang memungkinkan untuk memproduksi suara yang bermacam-macam dan memiliki volume otak sebesar 1500 cc. Kedua potensi tersebut saling melengkapi secara sistemik sehingga melahirkan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi di antara mereka. Sinergi di antara keduanya melahirkan bahasa yang sangat kompleks bahkan sampai pada pengabstraksian semua fenomena yang dijumpainya. Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa tersebut menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan ide, cerita, dan hasil pemikiran-pemikiran mereka. Pada saat seperti inilah teks lisan dilahirkan. Teks lisan yang telah diproduksi manusia, sesuai dengan keberadaannya yang secara fungsional menggunakan suara berikut dengan lagu dan semua situasi di sekitar teks ternyata memiliki krakteristik karakteristik khas sebagai berikut.
1. Tidak memiliki kestabilan setiap teks lisan yang diturunkan selalu terkait dengan konteksnya, yang meliputi pendengar, berbagai macam suasana baik yang dimiliki oleh pendengar maupun pengarang atau penceritanya, tempat, dan waktu ketika teks tersebut dilisankan. Kondisi seperti ini selalu terjadi setiap teks tersebut diproduksi atau diturunkan meskipun yang menurunkan adalah pengarangnya sendiri. Apalagi ketika teks lisan tersebut diresepsi pendengarnya dengan menceritakan kembali teks tersebut dihadapan pendengar lain maka resepsi atau tanggapan peresepsi terhadap teks lisan tersebut ikut mendorong tumbuhnya ketidakstabilan teks lisan. Dengan demikian, dapat dipastikan setiap kali teks lisan diturunkan selalau memiliki perbedaan dengan teks rujukannya.
2. Tergantung kepada penceritanya.
Penceritaan atau penuturan sebuah cerita sangat tergantung kepada penceritanya terutama pada unsur gaya bahasa, retorika, dan dialog antar tokoh yang dimainkan si pencerita. Ketiga unsur intrinsik teks lisan tersebut secara struktural sangat terkait dengan unsur personal penceritanya. Itupun masih ditambah dengan konteks saat penceritaan teks dilangsungan. Meskipun demikian, unsur instrinsik yang lain, yaitu penokohan, alur, dan tema biasanya masih setia pada teks rujukannya.
3.    Umur teks lisan terbatas.
Teks lisan begitu selesai dipresentasikan maka selesai pulalah umur teks lisan tersebut. Selanjutnya, umur teks tersebut sangat tergantung dengan kemampuan pencerita atau pendengarnya saja. Pada saat sekarang, umur teks lisan dapat diperpanjang dengan melakukan perekaman baik secara adio maupun visual. Meskipun demikian, perekaman tersebut tidak mampu merekam teks berikut dengan konteksnya sehingga ketika dilakukan pemaknaan terhadap teks maka sering menemukan kesulitan. Oleh karena itu, di samping melakukanperekaman juga harus disertai penjelasan tentang konteks teks lisan yang direkam tersebut dipresentasikan, yaitu meliputi tempat, waktu, kondisi masyarakat, kondisi pencerita, dan kondisi pendengar.
B.       Karakteristik Teks Tulis :
Jika kemampuan keterampilan komunikasi lisan merupakan kemampuan pertama yang dimiliki manusia maka kemampuan keterampilan menulis merupakan kemampuan kedua.
1. Teks tulis kehilangan konteksnya.
Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik si pembicara (si penulis) maupun pendengar (pembaca) kehilangan konteksnya, yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar keberadaan teks. Konteks tersebut bisa berupa sarana komunikasi yang dalam pemakaian bahasa lisan memberi sumbangan paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya komunikasi. Sarana tersebut oleh Uhlenbeck disebut musis, dan paralingual atau ekstralingual. Yang dimaksudkan suprasegmental ialah gejala intonasi (aksen, tekanan kata, tinggi rendahnya nada, keras lemahnya suara dan banyak lagi). Gejala-gejala itu sebagian merupakan unsur sistem bahasa yang bersifat fonemik sehinga langsung relevan dengan pemahaman struktur kata dan kalimat. Sebagian pula tidak langsung bersifat fonemik, tetapi tidak kurang pentingnya untuk berhasilnya komunikasi : gejala semacam itu misalnya, tekanan suara tertentu, lagu kalimat yang istimewa, bicara yang cepat atau lambat, suara yang keras atau lirih, di samping itu ada gerak-gerik tangan, mata, dan anggota badan lain yang dapat mendukung dan turut menjelaskan pesan yang ingin disampaikan. Dari data semacam itulah kita seringkali mengerti keadaan mental si pembicara : apakah dia marah, senang, gembira, gugup, jujur; apakah yang ingin disampaikannya penting atau tidak, dan seterusnya. Seperti dikatakan oleh Uhlenbeck (1979:406) : Keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual, dan informasi auditf, visual dan kognitif (berdasarkan pengetahuan atau penafsiran).
2. Teks tulis kehilangan hubungan fisik antara komunikator dan komunikan
Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis dan pembaca. Dalam komunikasi lisan kita banyak tergantung pada kemungkinan yang diadakan oleh hubungan fisik; pendengar melihat gerak-gerik pembicara, yang seringkali sangat penting untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya. Ia dapat memberi pula reaksi langsung yang penting lagi untuk pembicara, sebab reaksi semacam itu memberi kemungkinan untuk mengecek apa si pendengar memahami baik apa yang ingin disampaikan. Kalau pendengar mau marah misalnya, si pembicara langsung dapat mencoba menenangkannya; si pendengar dapat pula memberi jawaban, tanggapan langsung, dan seterusnya. Dalam komunikasi lewat bahasa tulis situasi itu lain sekali, dengan segala akibatnya untuk kedua belah pihak. Penulis harus mengucapkan sesuatu dengan lebih eksplisit, harus sejelas mungin, harus hati-hati dan lain-lain, sedangkan pembaca pun harus mengambil sikap yang lain; tugas interpretasi, karena tidak adanya interaksi yang sepontan, jauh lebih sulit.
3. Usia teks tulis tergantung dari bahan naskahnya.
Begitu sebuah cerita ditulis pada sebuah naskah maka sejak itu pula keberadaan teks
ditentukan sampai naskah tersebut hilang, rusak, atau hancur dimakan usia. Teks yang ditulis pada bahan yang terbuat dari kertas yang mudah rapuh, disukai oleh kutu buku, atau mudah rusak usianya lebih pendek dibanding teks yang ditulis pada bahan kertas yang berkualitas baik. Usia teks dapat diperpanjang dengan perawatan naskah yang baik, seperti memberi kapur barus atau bubuk lada, menyimpannya dalam lemari dengan kelembaban yang rendah.
4. Teks tulis dapat direproduksi berkali-kali.
Teks tulis sejak diterbitkan telah memiliki kemantapan. Selain dapat dilakukan penyalinan secara manual teks dapat direproduksi dalam berbagai bentuk seperti foto kopi, microfilm, dan lain-lain. Dalam hal penyalinan secara manual karena adanya kelemahan manusia maka terjadilah kesalahan mekanis. Di samping itu,  dalam bentuk pengubahan teks karena adanya kreatifitas atau kepentingan-kepentingan lain baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari subjek kolektif.
C.    Karakteristik Teks Cetak
Sejak ditemukannya mesin cetak pada abad keenam belas masehi hampir semua teks Nusantara yang telah ditelaah diteliti para filolog Eropa diterbitkan dalam bentuk teks cetak. Misalnya, Tajussalathin, Hikayat Si Miskin, dan lain sebagainya. Di samping itu, teks-teks lisan yang semula hanya berupa cerita pada saat sekarang ini telah diterbitkan dalam bentuk cetakan baik yang berupa hikayat maupun syair. Seperti Hikayat Putri Hijau, Syair Putri Hijau, dan sebagainya. Dibandingkan dengan dua bentuk teks sebelumnya teks cetak memiliki kualitas yang lebih baik, yaitu usia yang lebih panjang dan hampir semua karakteristik yang dimiliki teks tulis juga dimiliki oleh teks cetak.
D.    Proses Penciptaan Mono dan Poligenesis
Dalam proses penciptaan sebuah karya, secara struktural sebuah karya itu muncul terkait secara sintagmatis dengan unsur-unsur lain yang ada di sekitar kehadiran karya tersebut. Misalnya, kemunculan teks Ramayana secara sintagmatis terkait dengan dreaming cermin hidup bangsa Arya yang ideal pada waktu itu, gambaran alegoris penaklukan orang Arya terhadap bangsa-bangsa lain India Selatan, sejarah perselisihan dalam istana yang menyebabkan pembuangan Rama dan terkait juga dengan dongeng dongeng pembunuhan Rawana yang diambil dari Reg Veda, yaitu sebuah kepercayaan bangsa India. Teks Ramayana tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah.
Di setiap daerah penyebaran teks, teks Ramayana yang secara intrinsik berkonteks India memperoleh tanggapan dengan memberikan warna daerah lain (daerah si pembaca) ke dalam teks tersebut sehingga teks Ramayana yang berasal dari India tersebut dianggap sebagai milik suatu daerah di kawasan Melayu yang sebetulnya hanya meresepsi kehadiran teks. Hal ini terlihat terlihat dengan munculnya teks Ramayana Patani yang banyak cerita lokalnya dibanding cerita asalnya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Jawa yang telah meresepsi cerita Ramayana dengan mengubah akhir ceritanya yang betul-betul happy ending di dunia, sementara pada teks Ramayana India happy ending-nya di kayangan.
Proses penciptaan seperti di atas disebut monogenesis. Secara definitif, monogenesis adalah proses penciptaan sebuah karya yang berasal dari satu karya kemudian menyebar ke mana-mana. Proses penciptaan berikutnya ialah proses penciptaan yang secara struktural terkait dengan unsur-unsur kondisi daerah yang sama dengan daerah-daerah lain. Kondisi seperti tersebut sangat berpotensi melahirkan sebuah karya yang memiliki kesamaan dengan sebuah karya dari daerah lain. Sebuah kepercayaan pada masyarakat Jawa yang dibangun dari fenomena alam pelangi misalnya, melahirkan kepercayaan yang menyatakan bahwa pelangi tersebut adalah sebuah tangga yang digunakan para bidadari di kahyangan untuk turun ke dunia dan mandi di telaga-telaga yang ada di dunia.
Kepercayaan seperti ini tidak hanya muncul di Jawa tetapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti daerah Melayu dan Sumatera Barat yang juga mengalami peristiwa alam yang penuh warna dan sangat indah tersebut. Dari fenomena alam tersebut, di Jawa muncul cerita Jaka Tarub, di daerah Melayu dan Sumatera Barat muncul Hikayat Malim Deman. Proses penciptaan seperti ini disebut sebagai poligenesis.
Secara definitif poligenesis adalah proses keberadaan sebuah karya yang secara struktural dapat muncul di mana-mana dengan karakteristk yang hampir sama. Kedua proses penciptaan tersebut sangat membantu dalam penelitian filologi. Sebagaimana yang kita bahas pada bab terdahulu bahwa salah satu tujuan khusus penelitian filologi adalah mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya. Untuk dapat memahami dan menentukan beberapa fenomena teks cerita yang ditemukan apakah merupakan teks-teks dari sebuah mata rantai sejarah perkembangan sebuah teks atau hanya merupakan kesamaan teks yang tidak memiliki hubungan sejarah, terlebih dahulu harus dilakukan penelitian dengan merekonstruksi secara struktural sintagmatis sehingga sampai pada kesimpulan apakah proses penciptaan teks tersebut merupakan monogenesis atau poligenesis.
Jika teks tersebut merupakan teks monogenesis maka dapat dipastikan bahwa fenomena teks-teks yang ditemukan tersebut merupakan rangkaian sejarah perkembangan teks, sedangkan jika merupakan teks poligenesis maka fenomena teks yang bermacam-macam tersebut bukan merupakan rangkaian sejarah perkembangan teks. Di samping itu, juga perlu memperhatikan 10 tesis yang diajukan Lichacev untuk setiap penelitian sebuah teks dalam filologi. Sepuluh tesis yang diajukan Lichacev adalah sebagai berikut.
1.         Penelitian teks berusaha menyelidiki sejarah teks suatu karya. Salah satu penerapan praktis penelitian ini adalah suntingan teks.Tesis pertama yang ditawarkan Lichacev pada setiap penelitian teks ialah agar peneliti selalu berusaha menyelidiki sejarah teks suatu karya dan salah satu penerapan praktisnya adalah suntingan teks. Menyunting sebuah teks berarti mempersiapkan teks agar layak untuk diterbitkan sehingga dapat dibaca oleh setiap orang serta dapat dipahami maknanya. Untuk memahami makna sebuah teks salah satu instrumen yang digunakan adalah konteks, yaitu segala sesuatu yang menyertai dan berada di sekitar teks yang secara struktural mempunyai kontribusi terhadap keberadaan teks. Konteks tersebut dapat diketahui melalui penelusuran sejarah teks atau penelusuran setiap perubahan atau transformasi teks ketika teks tersebut diturunkan atau disalin. Oleh karena itu, penelitian sejarah teks merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitianpraktis teks yang berupa suntingan teks.
2.         Pertama-tama penelitian teks, baru kemudian penerbitannya.Tesis kedua yang disarankan oleh Lichacev adalah mendahulukan penelitian teks, kemudian baru dilanjutkan ke penerbitannya. Tesis ini sebenarnya merupakan penegasan tesis pertama. Hanya saja secara pragmatis, meskipun penerbitan dapat dilakukan sebelum melakukan penelitian teks namun seandainya hal tersebut dilakukan maka besar kemungkinannya akan memunculkan beberapa permasalahan, antara lain : suntingan teks tidak sesuai dengan konteksnya, suntingan teks tidak bisa menunjukkan teks salinan yang diwakili, dan munculnyasalah tafsir.
3.       Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya, Tesis ketiga sebetulnya merupakan hasil dari tesis pertama dan kedua yang indikatornya harus muncul dalam sebuah penerbitan teks. Tesis pertama akan menghasilkan sejarah penurunan teks sedangkan tesis kedua, yaitu melanjutkan tesis pertama dengan cara menerbitkan teks maka dalam tesis ketiga ini memberikan rambu-rambu bahwa hasil temuan yang telah dilakukan pada penelitian sejarah teks harus menjadi pegangan dasar dalam menyunting sebuah teks. Dengan demikian, maka secara otomatis edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.
4.  Penelitian teks harus disertai dengan penjelasan. Pada tesis keempat Lichacev menegaskan bahwa tekstologi atau penelitian teks harus disertai dengan penjelasan. Menurutnya, penelitian teks yang tidak diberi penjelasan dari setiap simpulan yang ditemukan tidaklah dapat dikatakan sebagai penelitian teks. Misalnya, dari tiga naskah yang ditemukan (naskah A, B, dan C) setidaknya dapat ditelusuri hubungan kekerabatan ketiganya, yaitu naskah B merupakan naskah yang lebih tua dan diturunkan menjadi naskah A, sedangkan naskah C adalah naskah yang berbeda versi dengan kedua naskah tersebut namun jika dilihat dari gaya bahasa dan retorikanya naskah C tersebut lebih tua dari keduanya. Di samping memberikan penjelasan berdasarkan prinsip-prinsip logika seperti di atas, setiap simpulan juga harus dijelaskan dengan memberikan data-data (kesaksian) temuan yang terdapat dalam setiap naskah sebuah teks. Demikian juga jika simpulan penelitian menunjukkan tidak jelasnya hubungan kekerabatan ketiganya, penjelasan berdasarkan logika maupun data-data yang diambil dari dalam teks.
4.         Data-data (kesaksian) perubahan teks yang dilakukan secara sadar (secara ideologis, estetik, psikologik, dan sebagainya harus diberi prioritas atas data perubahan teks yang mekanis (kesalahan yang tidak disengaja oleh penyalin). Pada tesis kelima Lichacev menyarankan bahwa penelitian terhadap perubahan teks yang secara sadar karena alasan ideologis, estetik, psikologis, dan sebagainya harus diprioritaskan daripada perubahan karena kesalahan mekanis (kesalahan tidak sengaja). Sebagaimana diketahui bahwa adanya perbedaan antara sebuah naskah yang satu dengan naskah yang lain dari teks yang sama adalah disebabkan oleh adanya kesalahan mekanis dan kesengajaan penyalin. Kesalahan kesalahan yang menyangkut masalah ungkapan yang menyangkut konsep, seperti Aliradliyallahu 'anhu menjadi karamallahu wajhah menunjukkan adanya perubahan idelogi sunni menjadi ideologi syi'ah.
Perubahan seperti inilah yang dimaksud sebagai perubahan yang disengaja dan harus diprioritaskan dalam penelitian teks. Karena menyangkut masalah ideologi maka penelusuran terhadap motif perubahan mempunyai makna terhadap penafsiran kebudayaan. Perubahan di atas berbeda dengan perubahan kata "tetapi" menjadi "tapi" atau sautdu meme au meme penyalinan meloncat dari kata satu ke kata lain atau dari kalimat satu ke kalimat lain karena adanya perkataan yang sama. Perubahan yang terakhir ini secara fisik mudah ditemukan dan juga sudah dapat diduga faktor penyebabnya yang sebagian besar merupakan kelemahan manusia. Perubahan seperti ini tidak memiliki makna dalam kebudayaan. Meskipun demikian, secara tidak langsung dapat digunakan untuk menelusuri sejarah teks.
6.    Teks perlu diteliti secara keseluruhan. Tesis keenam Lichacev mengingatkan para filolog bahwa teks mempunyai karakteristik yang kompleks. Artinya, di samping di dalam teks berisi berbagai macam hasil kebudayan yang kompleks, di luar teks pun memuat data-data kesaksian yang tidak kalah kompleksnya dengan isi teks baik sebagai artefak, sistem tingkah laku, maupun nilai budaya.
7.    Bahan penyerta teks (konvoi, kolofon, dan lain-lain) suatu karya sastra dalam satu kumpulan (kodeks) perlu diteliti.Tesis ketujuh Lichacev menyarankan supaya bahan penyerta tekstologi (konvoi, kolofon, danlain2) suatu karya sastra dalam kumpulan kodeks perlu diteliti. Sebagaimana diketahui bahwa bahan penyerta teks adalah salah satu data (kesaksian) yang dapat memberikan petunjuk tentang eksistensi teks. Petunjuk tersebut antara lain meliputi kapan naskah ditulis atau mulai disimpan atau dimiliki, di mana naskah tersebut ditulis atau disimpan, bahkan sering juga dijumpai catatan yang menjelaskan tanggapan pembaca atau pemilik naskah baik mengenai konsep-konsep yang dimuat di dalamnya maupun asal-usul naskah yang dimiliki. Hasil penelitian terhadap semua keterangan tersebut sangat membantu dalam memahami dan meneliti teks secara keseluruhan terutama untuk merekonstruksi teks yang diteliti.
8.    Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain. Pada tesis ke delapan Lichacev menerangkan perlunya peneltian terhadap bayangan sejarah teks sebuah karya sastra dalam monumen sastra lain. Dalam sastra Melayu sering dijumpai sebuah karya sastra atau bagian dari karya sastra disebutkan dalam karya sastra lain dengan tujuan untuk menguatkan cerita atau untuk mengaitkan cerita baru dengan cerita yang telah lebih dahulu ada.
9.    Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria masing-masing perlu diteliti. Pada tesis ini Lichacev mengingatkan bahwa jika masih bisa ditemukan para penyalin berikut dengan kegiatannya terutama yang berkaitan dengan teks yang sedang diteliti maka para penyalin berikut dengan kegiatannya tersebut perlu diteliti. Di daerah Wonosobo, dijumpai para santri sebuah pesantren bertindak sebagai penyalin kitab-kitab karya kiainya. Naskah hasil penyalinan tersebut kemudian dijual kepada santri lain. Naskah hasil penyalinan tidak boleh difoto kopi atau diterbitkan dalam bentuk buku cetak.
10.     Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secarafaktual. Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secara faktual. Tesis ini ditujukan kepada para filolog bahwa teks hasil rekonstruksi tidak bisa dijadikan sebagai naskah variabel dalam penelitian. Teks hasil rekonstruksi merupakan teks hibrid sehingga tidak bisa mewakili salah satu dari naskah sebuah teks.


BAB VI
LANGKAH-LANGKAH MENGOLAH NASKAH

A.      Cara Mengolah Naskah
Dasar-dasar filologi atau metodelogi tentang filologi merupakan hal yang azasi. Menurut penjelasan Dr. Noorduyn di Leiden sendiri belum pernah diterbitkan secara khusus. Naskah-naskah yang masih ada harus diolah untuk keperluan ilmu-ilmu yang lain, karena suatu babad atau hikayat atau silsilah misalnya, haruslah dibuat obyek penelitian lebih dulu sebelum dijadikan sumber. Apakah isinya tanpa kesalahan tulis, apakah salinan atau copy atau asli, baru kemudian diadakan seleksi mana yang khayal, mana yang sejarah, juga untuk keperluan ilmu-ilmu lain.
Kalau suatu naskah yang belum disediakan secara metodis (ilmiah), sifatnya masih sementara, tetapi proses ini sendiri sudah merupakan pekerjaan filologi. Tentu saja tidak ada pekerjaan yang sempurna. Artinya pekerjaan demikian tidak pernah selesai, masih harus ditinjau kembali.
Secara logis pekerjaan secara filologi harus dilakukan lebih dulu dari pada penelitian sebagai sumber sejarah. Atau dapat disimpulkan bahwa harus ada kerjasama antara ilmu filologi pada suatu pihak dengan sejarah atau ilmu-ilmu yang lain di lain pihak. Naskah-naskah itu harus ditinjau dari beberapa aspek.
Dalam praktek seringkali buku-buku yang telah diterbitkan mula-mulanya tentu kurang baik. Contohnya Pararaton yang diterbitkan oleh Brandes hanya diambil dari tiga naskah saja. Sebenarnya semula pekerjaan Brandes itu cukup baik, sepuluh tahun kemudian dengan menggunakan sepuluh naskah baru, sehingga teks Pararaton yang belakangan ini merupakan terbitan yang paling baik. Lain halnya dengan prasasti-prasasti yang telah diterbitkannya. Karena Brandes sudah meninggal sebelum sempat memperbaiki prasasti-prasasti itu yang kemudian diterbitkan oleh Krom.
Prasasti yang diterbitkan oleh Krom itu kemudian dipakai sebagai sumber oleh para sejarawan, sehingga banyak kesimpulan  yang belum sempurna.(disini pekerjaan filologi belum selesai). Sebuah contoh yaitu prasasti Tryalokyapuri (1486 M)
terbitan I disebutkan nama raja
.............. sang mokta ring Indrabhawana
Terbitan II
............. sang mokta ring Indra (ni) bhawana
Menurut C.C. Berg (sejarawan), pada terbitan I, raja itu adalah “suami”, sedang pada terbitan II adalah “perempuan”, jadi dua person.
Setelah diteliti kembali ternyata terbitan I kurang  ( ni ) – Indra ( ni ) bhawana, akibat salah baca. Jadi sebenarnya bukan dua person tetapi hanya satu person. Ini adalah sebuah contoh pekerjaan filologi yang belum sempurna, kemudian dipakai oleh sajarawan.
B.       Beberapa Masalah yang perlu dipikirkan
Mengapa naskah-naskah itu diturun/dicopy ?
1.    Karena orang ingin  memiliki teks (naskah) sahabatnya, karena yang punya tidak mau menjualnya. Dalam hal ini kemungkinan membuat kesalahan kecil sekali.
2.    Naskah yang bersangkutan sudah rusak, sebagian atau kurang jelas, sehingga yang punya atau orang lain perlu menyalin kembali. Yang dicontoh sudah sesempurna dari aslinya/kemungkinan masih mendekati aslinya. Itulah dua kemungkinan dan sebab-sebabnya. Yang terang disini mempunyai akibat (akibat waktu menyalin). Cara menyalin juga mempunyai dua kemungkinan ;
1)       Juru tulis menulis secara otomatis, mekanis dengan tidak memperhatikan  isi.
       Dengan tidak menaruh perhatian  pada isinya. Akibatnya bisa salah baca dan   
       salah tulis.
2)      Si penyalin itu, menulis juga membaca dan memperhatikan isinhya. Seringkali terjadi  ada anggapan, ada bagian yang salah, lalu dikoreksi, maka yang terjadi , kemungkinan ‘menambah’ atau mengubah, sehingga copy/salinan itu mengalami perbedaan dengan aslinya. Seakan-akan penulis berlaku seperti pengarangnya sendiri.
Lain halnya dalam menyalin  kitab-kitab suci weda dan sebagainya, sehingga akan terjadi pada yang kedua ini, tidak ada bedanya  dengan menyadur saja. Tidak dapat dikatakan  diantara keduanya mana yang lebih baik. Keduanya sama membuat kesalahan. Tetapi toh lebih baik  pada cara yang pertama, karena tidak mengandung  unsur-unsur kesengajaan di dalamnya.
Suatu contoh yang sering kita dapati yaitu pada cara yang pertama tadi. Misalnya di dalam teks terdapat dua kalimat (karena dibaca atau ditulis dua kali). Ini merupakan suatu ciri bahwa itu merupakan  suatu ‘copy’, bukan autograph. Hal ini misalnya terdapat dalam salah satu naskah dari kitab “Sejarah Melayu” dan kita mengetahuinya paling sedikit harus ada dua naskah :
........sebermula payung putih lebih dari pada yang kuning karena /payung putih/ {tampak dari jauh dan sebab itulah maka /payung putih/ dan pakaian raja, payung dan pakaian anak raja, payung kuning .............
Kepentingan pekerjaan filologi terhadap ilmu-ilmu lainnya. Apa sebab mula-mula ilmu filologi itu dikembangkan dalam bahasa Yunani dan Latin ?. karena kedua bahasa itulah yang mula-mula mendapat perhatian oleh orang-orang Eropa, karena tuannya kebudayaan/bahasa Yunani dan Latin.
Berabad-abad lamanya bahasa Latin dipakai sebagai bahasa resmi (official) di Eropa dan sebagian Asia sehingga metode untuk menerbitkan  naskah-naskah kuna sudah sangat tua dilakukan orang. Tujuan filologi untuk memakai naskah-naskah kuna sedapat mungkin  mencapai naskah yang bersifat autograph itulah tujuan utama.
C.  Tradisi Lisan
Dengan alat tape-recorder dan casette, maka tradisi lisan sekarang dapat direkam, dan hasilnya itu dapat dipakai sebagai naskah. Tetapi bagaimanapun juga ada perbedaan antara naskah tulis dengan naskah lisan yang direkam. Sebab secara lisan kemungkinan besar menambah atau mengurangi yang sebenarnya. Tidak tepat seperti halnya naskah tulis. Misalnya seperti apa yang pernah dilakukan oleh Dr. Noorduyn dalam penelitiannya di daerah orang Badui Banten dengan merekam nyanyian  sampai tiga kali oleh orang yang sama, ternyata masih timbul perbedaan. Jadi dalam menerbitkan cerita lisan memang ada kesamaan tetapi juga perbedaan.
Tradisi lisan sebenarnya lebih tepat menjadi penyelidikan antropologi. Hakekatnya masih banyak, seperti dikatakan  oleh J. Gonda bahwa naskah-naskah yang telah diketemukan  dengan banyaknya oral tradition yang belum diselidiki masih belum seimbang, jauh masih banyak  oral tradition (keterangan Gonda tersebut dapat dibaca dalam Letteerkunde Van Archiple).
Sebab tradisi lisan bisa kenali pada bermacam-macam acara dan upacara. Jadi yang tertulis sekarang ini dulunya lisan juga. Misalnya jenis pelipur lara biasanya dituliskan atas anjuran  atau permintaan para penyelidik. Sekarang oral tradition mendapat cukup perhatian karena dikhawatirkan akan hilang. Pada sekitar tahun 1973 di Jakarta diadakan seminar tentang Folk lore, sebab folk lore merupakan bagian dari oral tradition.
D.  Naskah Tunggal (codex uniqus) = satu-satunya naskah yang diketemukan.
Naskah-naskah yang menjadi copy/salinan harus kita insyafi bahwa kalau misalnya hanya satu naskah (Naskah Tunggal /codex uniqus) dalam hal ini sering dijumpai. Seperti misalnya pada kesusastraan Sunda kuna sebelum Islam banyak  yang sudah hilang. Kurang lebih ada 50 buah naskah yang pada umumnya copy dan merupakan codex uniqus. Sebuah contoh  codex uniqus yang paling terkenal yaitu Negarakertagama. Kekawin yang terkenal ini  sudah dikembalikan  kepada pemerintah RI dari Leiden melalui kunjungan Presiden Soeharto ke negeri Belanda.
Penemuan Negarakertagama terjadi pada waktu perang kolonial di Lombok pada tahun 1894. Kemudian dibaca oleh Brandes, lalu di bawa ke Jakarta dan berpuluh tahun lamanya di simpan di negeri Belanda. Pada waktu diketemukannya di Lombok sebenarnya diketemukan  juga ‘Pararaton” yang sering dilupakan orang. Brandes bersama-sama ekspidisi militer ditugaskan khusus untuk menyelamatkan naskah-naskah, termasuk Negarakertagama tersebut.
Pada tahun 1902 Brandes menerbitkannya. Pada mulanya agak tertutup karena hurufnya agak sukar dibaca. Pada tahun 1906 naskah-naskah yang berasal dari Lombok itu dipindahkan ke Leiden. Dr. Kern juga tertarik, lalu diterjemahkannya dan menguraikannya. Begitu juga Krom pada tahun 1919 menggali arti historisnya. Dan terakhir Dr.Th.Pigeaud menerbitkannya dengan lima jilid dalam bahasa Inggeris. Hanya disayangkan edisi Pigeaud ini bahasa Inggerisnya kurang teliti. Begitulah menurut Dr. Haryati Soebadio. C.C. Berg pun pernah menyelidikinya. Adapun kode Negarakertagama yaitu : Codex Orientalis : 5032, terdiri dari 157 lembar lontar, ukuran (lontar) 48,5 x 3,5 cm, huruf Jawa kuna, timbal balik.
E.  Penelitian Bahan Naskah
Bahan naskah Nusantara bermacam-macam antara lain sebagai berikut. Karas yaitu semacam papan atau batu tulis digunakan untuk sementara (naskah Jawa Kuna).
Lontar (rontal) = daun tal atau daun siwalan) (naskah Jawa, Bali dan Lombok).
Dluwang = kertas Jawa dari kulit kayu.
Kulit kayu, bambu, dan rotan Naskah Batak)
Kertas Eropa yang diimpor pada abad ke-18 dan ke-19 menggantikan dluwang karena    kualitasnya lebih baik (Jawa dan Melayu).
Penelitian Umur Naskah :
Umur naskah dapat dirunut dari dalam (interne evidentie) dan keterangan dari luar (externe evidentie). Perunutan dari dalam ditunjukkan dari adanya fenomena berikut ini.
Kolofon, yaitu keterangan waktu awal dan akhir penulisan teks.
Watermark (cap air), yaitu lambang pabrik pembuat kertas yang menunjukkan tahun pembuatan kertas. Naskah yang ditulis di atas kertas seperti ini menunjukkan setidak naskah ditulis setelah tahun pembuatan kertas.
Perunutan dari luar ditunjukkan dari adanya fenomena berikut ini.
Catatan di sampul luar , sampul keras depan, dan belakang naskah.
Catatan asal mula naskah menjadi milik berbagai perpustakaan.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut dalam teks menunjukkan bahwa teks ditulis setelah terjadinya peristiwa.
Penyebutan teks pada teks lain yang telah memiliki angka tahun yangh jelas menunjukkan bahwa teks tersebut setidaknya penulisan paling akhir sebelum
diterbitkannya teks yang telah menyebutkannya.
Contoh Kasus
Teks Hikayat Hang Tuah memuat peristiwa kekalahan Portugis oleh bangsa Belanda (1641) tetapi Hikayat tersebut juga telah disebutkan dalam Oud en Nieuw Oost Indien karangan Francois Valentijn (1726). Hal ini menunjukkan bahwa saat penulisan paling awal (terminus a quo) teks Hang Tuah setelah tahun 1641 tetapi penulisan paling akhir (terminus ad quem) sebelun tahun 1726.
Penelitian Tempat Penulisan Naskah :
   Tempat penulisan naskah biasanya dijelaskan pada kolofon yang terletak di akhir naskah.
Tempat penulisan naskah sangat berguna untuk memahami makna naskah terutama dalam memaknai kosa-kosa kata yang digunakan oleh masyarakat tertentu berdasarkan visi dan misi penulisan naskah. Tempat-tempat penulisan yang menunjukkan nama ibu kota atau negara besar kemungkinannya teks ditulis untuk kepentingan istana, sedangkan teks yang ditulis di daerah-daerah yang bukan menunjukkan nama ibu kota dan negara besar kemungkinannya teks ditulis untu kepentingan rakyat, keagamaan, dan sebagainya.
Penelitian Perkiraan Penulis Naskah :
Pengetahuan tentang penulis naskah terutama secara sosiologis dapat menjelaskan pandangan dunia pengarang sehingga dapat membantu untuk memahami makna teks secara keseluruhan. Penulis naskah dapat diperkirakan dari pengetahuannya tentang segala sesuatu yang telah ia tulis dalam teks.
Bukhari Al-Jauhari, penulis Tajus- Salathin pengetahuannya yang sangat mendalam tentang agama menunjukkan ia seorang ulama, sedangkan pengetahuannya tentang seluk beluk kerajaan menunjukkan bahwa ia pernah tinggal di kerajaan atau dekat dengan pemegang kekuasaan. Status sosial pengarang seperti di atas dapat menunjukkan pandangan dunia siapa yang ia wakili dalam menuliskan teks tersebut.














Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa studi filologi dapat dilakukan dari berbagai sudut dan perspektif, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut. Kalau tujuan dari studi filologi yaitu mempelajari naskah/teks untuk kemudian dapat merebut makna dan pesan dari teks tersebut, maka tujuan seperti ini dapat dijalankan dengan menggunakan pendekatan atau perspektif kebudayaan.
            Lewat perspektif  kebudayaan itulah naskah atau teks diperlakukan sebagai pemadatan realitas simbolik. Ketika naskah atau teks diposisikan sebagai realitas simbolik yang dalam istilahnya sendiri sebagai dokumen  kebudayaan masyarakat-masyarakat tradisional, maka analisis yang digunakan adalah analisis kontekstual.









DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh dkk.. 1978. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Baried, Siti Baroroh dkk.. 1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Behrend, T. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4A Koleksi  Perpustakaan Nasional. Jakarta: The Ford Foundation.

Daftar Naskah-naskah PNRI Koleksi Peti 1-142. 1994. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi”.  Bahasa dan Sastra Tahun III No. 1
-------------------. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco

Djamaris, Edwar dkk. 1993.   Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Sumatera. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Maas, Paul. 1958. Textual Criticism. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Barbara Flower dari judul aslinya Textkritik.  Oxford University Press.

Pigeaud, Theodore G. 1967. Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other Public Collections in the Netherlands. Volume 1 Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A.D.. The Hague: Martinus Nijhoff.

Pigeaud. G. Th.1967 - 1970 Literature of Java. Catalogue raisonne of  Javanese   manuscripts in the library of the university of Leiden and  other public collections in the Netherlands. 3 Jilid. The Hague: Martinus Nijhoff. ‎
---. 1980. Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other Public Collections in the Netherlands. Volume IV Supplement.The Hague: Martinus Nijhoff.

Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia”. Bahasa dan Sastra, IV.

---. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Diterjemahkan oleh Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL.

Sutrisno, Sulastin. 1981. Relevansi Studi Filologi. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Jabatan
               Guru Besar dalam Ilmu Filologi.

Soebadio, Haryati 1975    ” Penelitian   Naskah   Lama   Indonesia.”   Buletin Yepena. Th. 2. No. 7. ‎Hlm. 11-18. Jakarta.
Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Uhlenbeck. E.M. 1964    A  Critical Survey of Studies on the  Languages   on  Java and Madura. Gravenhage:  Martinus Nijhoff.Zoetmulder. P.J.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar