MAKALAH
“KATAKA SODHANA”
Disusun Oleh :
Nama : I KOMANG ADI PURNAWAN
NIM :131 111 42
Jurusan : Dharma
Acarya IV
JURUSAN HUKUM
AGAMA HINDU
SEKOLAH TINGGI
AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM
2015
KATA PENGANTAR
“Om Swastyastu”
puji
syukur saya haturkan kehadirat ida sang
hyang widhi wasa, berkat asung
kerta wara nugraha-Nya, saya dapat
menyelesaikan tugas mandiri makalah yang
berjudul“KATAKA SODHANA”
Sesuai dengan judul yang telah disebutkan diatas, dalam makalah ini saya memaparkan mengenai konsep kataka
sodhana ruang laningkup dan juga perkembangan pada jaman manu. Tujuan dari
penyusunan makalah ini, selain untuk memenuhi salah satu tugas mata
pelajaran, juga saya susun sebagai bahan pembelajaran.
Namun di samping itu, saya menyadari
betul bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Dan untuk itu
saya mengharapakan kritik dan saran yang sekiranya membangun dari
para pembaca sekalian agar kekurangan dalam makalah ini dapat diperbaiki
dan menjadi lebih sempurna untuk proses penambahan wawasan kita semua.
“Om Santih, Santih, Santih, Om”
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar....................................................................................................
Daftar
Isi.............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang..........................................................................................
1.2
Rumusan Masalah....................................................................................
1.3
tujuan .......................................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN
.... 2.1.konsep kataka sodhana.............................................................................
.... 2.2 ruang lingkup kataka sodhana .................................................................
2.3 sifat sifat kataka sodhana ........................................................................
2.4 sumber
sumber hukum kataka sodhana ...................................................
2.5 perkembangan
kataka sodhana di jaman manu ........................................
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................
3.2 Saran .......................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Di dalam
kitab Weda dijumpai beberapa istilah yang sering dipakai untuk istilah hukum
yaitu sebagai hukum abadi (lex eternal) disebut Rita (rta), dan sebagai hukum
duniawi disebut dharma atau dharman.
Dharma or science of values , consisting of ethical, moral and humanistic attitudes and actions (Ranganathananda,2000:90). Berdasarkan uraian diatas, maka dharma merupakan hukum yang mengatur dan memelihara hubungan serasi antara manusia dengan penciptanya dan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Berdasarkan sejarah hukum, hukum Hindu menyatu dengan agama… dharma (hukum Hindu) tidak merupakan ilmu pengetahuan hukum dalam batas ajaran modern, tetapi berisikan berbagai peraturan tentang kebajikan dan tingkah laku manusia yang santun. Hal ini diuraikan, sebagai berikut:
Like other ancient laws, Hindu law is mixed up with religion… dharma included not only what is known as law in the modern sense of term but all rulers of good and proper human conduct (Mahesh, Tanpa Tahun:2).
Dharma (hukum Hindu) dapat disebut hukum, apabila norma-normanya memuat unsur-unsur yang sifatnya mengatur (normatif) dan atau unsur-unsur yang sifatnya memaksa atau represif.
Dharma merupakan hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan satya dan ahimsa...,sehingga kehidupan di dunia ini menjadi moksartham jagathita yaitu aman, tenteram, damai, adil dan sejahtera
Dharma or science of values , consisting of ethical, moral and humanistic attitudes and actions (Ranganathananda,2000:90). Berdasarkan uraian diatas, maka dharma merupakan hukum yang mengatur dan memelihara hubungan serasi antara manusia dengan penciptanya dan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Berdasarkan sejarah hukum, hukum Hindu menyatu dengan agama… dharma (hukum Hindu) tidak merupakan ilmu pengetahuan hukum dalam batas ajaran modern, tetapi berisikan berbagai peraturan tentang kebajikan dan tingkah laku manusia yang santun. Hal ini diuraikan, sebagai berikut:
Like other ancient laws, Hindu law is mixed up with religion… dharma included not only what is known as law in the modern sense of term but all rulers of good and proper human conduct (Mahesh, Tanpa Tahun:2).
Dharma (hukum Hindu) dapat disebut hukum, apabila norma-normanya memuat unsur-unsur yang sifatnya mengatur (normatif) dan atau unsur-unsur yang sifatnya memaksa atau represif.
Dharma merupakan hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan satya dan ahimsa...,sehingga kehidupan di dunia ini menjadi moksartham jagathita yaitu aman, tenteram, damai, adil dan sejahtera
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep hukum, kataka sodhana?
2. Bagaimana
ruang lingkup kataka sodhana?
3. Apa
sifat sifat kataka sodhana?
4. Apa
sumber hukum kataka sodhana?
5. Bagaimana
sejarah perkembangan kataka sodhana?
1.3 tujuan
Makalah ini kami susun bertujuan untuk memenuhi
salah satu mata kuliah. di samping itu makalah ini juga sebagai bahan ajar bagi
pembaca untuk lebih dekat mengenal berbagai macam hukum hindu dan juga
penerapanya .karna dengan memahami hukum kita bisa lebih bijaksana dalam
bertindak..
BAB II
PEMBAHASAN
A Konsep Kantaka Sodhana
Di dalam
kitab Weda dijumpai beberapa istilah yang sering dipakai untuk istilah hukum
yaitu sebagai hukum abadi (lex eternal) disebut Rita (rta), dan sebagai hukum
duniawi disebut dharma atau dharman.
Dharma or science of values , consisting of ethical, moral and humanistic attitudes and actions (Ranganathananda,2000:90). Berdasarkan uraian diatas, maka dharma merupakan hukum yang mengatur dan memelihara hubungan serasi antara manusia dengan penciptanya dan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Berdasarkan sejarah hukum, hukum Hindu menyatu dengan agama… dharma (hukum Hindu) tidak merupakan ilmu pengetahuan hukum dalam batas ajaran modern, tetapi berisikan berbagai peraturan tentang kebajikan dan tingkah laku manusia yang santun. Hal ini diuraikan, sebagai berikut:
Like other ancient laws, Hindu law is mixed up with religion… dharma included not only what is known as law in the modern sense of term but all rulers of good and proper human conduct (Mahesh, Tanpa Tahun:2).
Dharma (hukum Hindu) dapat disebut hukum, apabila norma-normanya memuat unsur-unsur yang sifatnya mengatur (normatif) dan atau unsur-unsur yang sifatnya memaksa atau represif.
Dharma merupakan hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan satya dan ahimsa...,sehingga kehidupan di dunia ini menjadi moksartham jagathita yaitu aman, tenteram, damai, adil dan sejahtera (Ekasana, 2004:53-54).
Dharma (hukum Hindu) yaitu hukum yang bersumber dari karma phala atau hasil perbuatan yang dijadikan ukuran atau nilai-nilai untuk berbuat yang pantas atau seyogyanya. Nilai-nilai atau ukuran dimaksud dijadikan norma-norma atau patokan-patokan yang selanjutnya diterapkan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.
Dalam rangka menguraikan tentang konsep hukum, maka sebagai calon praktisi hukum Hindu maupun sebagai seorang sarjana hukum Hindu, seyogyanya memahami bidang-bidang hukum Hindu.
Sehubungan dengan itu, maka bidang-bidang hukum Hindu dimaksud menurut Kautilya, makes a clear distinetion between cipil Law Dharmasthiya and penal law Kantaka Sodhana (Krisnha Rao,1979:112). Pembedaan hukum Hindu menjadi bidang hukum publik Kantaka Sodhana dan bidang hukum privat Dharmasthiya. Kantaka Sodhana di Indonesia dikenal dengan Hukum Pidana Hindu, sedangkan Dharmasthiya di Indonesia dikenal dengan hukum perdata Hindu.
Sebagai Hukum Pidana (Kantaka Sodhana) menurut A Ridwan Halim (1983:7) adalah: Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Sedangkan menurut I Made Widnyana (1993:2), Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Sehubungan dengan itu, maka setiap kitab undang-undang hukum pidana memuat dua hal yang pokok, yaitu:
Dharma or science of values , consisting of ethical, moral and humanistic attitudes and actions (Ranganathananda,2000:90). Berdasarkan uraian diatas, maka dharma merupakan hukum yang mengatur dan memelihara hubungan serasi antara manusia dengan penciptanya dan dengan ciptaan Tuhan yang lainnya.
Berdasarkan sejarah hukum, hukum Hindu menyatu dengan agama… dharma (hukum Hindu) tidak merupakan ilmu pengetahuan hukum dalam batas ajaran modern, tetapi berisikan berbagai peraturan tentang kebajikan dan tingkah laku manusia yang santun. Hal ini diuraikan, sebagai berikut:
Like other ancient laws, Hindu law is mixed up with religion… dharma included not only what is known as law in the modern sense of term but all rulers of good and proper human conduct (Mahesh, Tanpa Tahun:2).
Dharma (hukum Hindu) dapat disebut hukum, apabila norma-normanya memuat unsur-unsur yang sifatnya mengatur (normatif) dan atau unsur-unsur yang sifatnya memaksa atau represif.
Dharma merupakan hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan satya dan ahimsa...,sehingga kehidupan di dunia ini menjadi moksartham jagathita yaitu aman, tenteram, damai, adil dan sejahtera (Ekasana, 2004:53-54).
Dharma (hukum Hindu) yaitu hukum yang bersumber dari karma phala atau hasil perbuatan yang dijadikan ukuran atau nilai-nilai untuk berbuat yang pantas atau seyogyanya. Nilai-nilai atau ukuran dimaksud dijadikan norma-norma atau patokan-patokan yang selanjutnya diterapkan untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.
Dalam rangka menguraikan tentang konsep hukum, maka sebagai calon praktisi hukum Hindu maupun sebagai seorang sarjana hukum Hindu, seyogyanya memahami bidang-bidang hukum Hindu.
Sehubungan dengan itu, maka bidang-bidang hukum Hindu dimaksud menurut Kautilya, makes a clear distinetion between cipil Law Dharmasthiya and penal law Kantaka Sodhana (Krisnha Rao,1979:112). Pembedaan hukum Hindu menjadi bidang hukum publik Kantaka Sodhana dan bidang hukum privat Dharmasthiya. Kantaka Sodhana di Indonesia dikenal dengan Hukum Pidana Hindu, sedangkan Dharmasthiya di Indonesia dikenal dengan hukum perdata Hindu.
Sebagai Hukum Pidana (Kantaka Sodhana) menurut A Ridwan Halim (1983:7) adalah: Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Sedangkan menurut I Made Widnyana (1993:2), Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Sehubungan dengan itu, maka setiap kitab undang-undang hukum pidana memuat dua hal yang pokok, yaitu:
1. Memuat
pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang, yang diancam dengan pidana, maksudnya
syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan
sanksi hukum. Dengan demikian, disini seolah-olah negara menyatakan kepada
masyarakat dan kepada para penegak hukum, mengenai perbuatan-pebuatan yang
dilarang untuk dilakukan, dan orang-orang yang dapat dijatuhi sanksi akibat
perbuatan yang dilakukan itu.
2. Memuat tentang penetapan dan pengumuman yang menyangkut reaksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Kantaka Sodhana adalah hukum yang hidup, diikuti dan ditaati oleh masyarakat Hindu. Apabila ditinjau dari pasal 6 Dvityo’dhyayah Manavadharmasastra (Veda Smrti), yaitu dari sudut “acaranya”, apabila ada yang melanggar kebiasaan-kebiasaan yang sedang berlaku dalam masyarakat Hindu yang bersangkutan, maka pelanggarnya dapat dikenakan sanksi pidana.
Menurut Kautilya Hukum Pidana Hindu disebut dengan Kantaka Sodhana. Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu Kantaka Sodhana dalam arti Subyektif dan Kantaka Sodhana arti Obyektif.
1. Kantaka Sodhana dalam arti Subyektif
Kantaka Sodhana atau Hukum Pidana Hindu dalam arti Subyektif disebut juga Ius Puniedi (Bahasa Latin), yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang (Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun: 2). Kantaka Sodhana subyektif dapat dilihat pada Pasal 306 Astamo’dhyayah Manavadharmasastra (Veda Smrti), sebagai berikut:
Raksam dharmena bhutani
raja vadhyamçca ghatayan
Yajate’hararharyajnaih
sahasra çata daksinaih
Negara (raja) melindungi segala mahluk sesuai menurut hukumnya dan menghukum mereka yang patut dihukum sebagai perbuatan yadnya yang setiap harinya ratusan ribu dipersembahkan sebagai bayaran (Pudja,2002:497)
2. Kantaka Sodhana dalam arti Obyektif
Kantaka Sodhana atau hukum pidana Hindu dalam arti obyektif disebut juga Ius Poenale (Bahasa Latin), yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang mana pelanggarnya dapat diancam dengan suatu hukuman. Kantaka Sodhana dalam arti obyektif ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu Kantaka Sodhana Material dan Kantaka Sodhana Formal.
Kantaka Sodhana material atau hukum pidana material yaitu peraturan-peraturan yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai :
2. Memuat tentang penetapan dan pengumuman yang menyangkut reaksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Kantaka Sodhana adalah hukum yang hidup, diikuti dan ditaati oleh masyarakat Hindu. Apabila ditinjau dari pasal 6 Dvityo’dhyayah Manavadharmasastra (Veda Smrti), yaitu dari sudut “acaranya”, apabila ada yang melanggar kebiasaan-kebiasaan yang sedang berlaku dalam masyarakat Hindu yang bersangkutan, maka pelanggarnya dapat dikenakan sanksi pidana.
Menurut Kautilya Hukum Pidana Hindu disebut dengan Kantaka Sodhana. Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu Kantaka Sodhana dalam arti Subyektif dan Kantaka Sodhana arti Obyektif.
1. Kantaka Sodhana dalam arti Subyektif
Kantaka Sodhana atau Hukum Pidana Hindu dalam arti Subyektif disebut juga Ius Puniedi (Bahasa Latin), yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang (Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun: 2). Kantaka Sodhana subyektif dapat dilihat pada Pasal 306 Astamo’dhyayah Manavadharmasastra (Veda Smrti), sebagai berikut:
Raksam dharmena bhutani
raja vadhyamçca ghatayan
Yajate’hararharyajnaih
sahasra çata daksinaih
Negara (raja) melindungi segala mahluk sesuai menurut hukumnya dan menghukum mereka yang patut dihukum sebagai perbuatan yadnya yang setiap harinya ratusan ribu dipersembahkan sebagai bayaran (Pudja,2002:497)
2. Kantaka Sodhana dalam arti Obyektif
Kantaka Sodhana atau hukum pidana Hindu dalam arti obyektif disebut juga Ius Poenale (Bahasa Latin), yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang mana pelanggarnya dapat diancam dengan suatu hukuman. Kantaka Sodhana dalam arti obyektif ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu Kantaka Sodhana Material dan Kantaka Sodhana Formal.
Kantaka Sodhana material atau hukum pidana material yaitu peraturan-peraturan yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai :
a
Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan suatu hukuman. Misalnya:
1) Pencurian berdasarkan pasal 337 dan 338 Astamo’dhyayah Veda Smrti, seseorang yang melakukan pencurian dapat dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya berdasarkan pasal 170 Ekadaso’dhyayah Veda Smrti juncto Pawos 1 Sastra Agama, dinyatakan bahwa seorang pencuri dapat dikenakan sanksi hukum tapa dan prayascita.
2) Perbuatan zina (paradara) berdasarkan pasal 170 Ekadaso’dhyayah Veda Smrti juncto Pawos 1 dan Pawos 52 Sastra Agama dapat juga dikenakan sanksi hukum tapa dan prayascitta. Tapa disini merupakan sanksi hukum pemenjaraan seseorang di Penjara (Rumah Tahanan Negara).
3) Pembunuhan atau kejahatan dengan menghilangkan nyawa orang lain dapat dikenakan sanksi tapa dan prayascita serta dapat menghilangkan dosa-dosanya dengan mengucapkan mantram-mantram yang telah ditentukan. Mengenai kejahatan pembunuhan ini diatur dalam Pasal 127 sampai dengan Pasal 131 juncto Pasal 249 Ekadaso’dhyayah Veda Smrti juncto Pawos 1 dan Pawos 52 Sastra Agama.
1) Pencurian berdasarkan pasal 337 dan 338 Astamo’dhyayah Veda Smrti, seseorang yang melakukan pencurian dapat dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya berdasarkan pasal 170 Ekadaso’dhyayah Veda Smrti juncto Pawos 1 Sastra Agama, dinyatakan bahwa seorang pencuri dapat dikenakan sanksi hukum tapa dan prayascita.
2) Perbuatan zina (paradara) berdasarkan pasal 170 Ekadaso’dhyayah Veda Smrti juncto Pawos 1 dan Pawos 52 Sastra Agama dapat juga dikenakan sanksi hukum tapa dan prayascitta. Tapa disini merupakan sanksi hukum pemenjaraan seseorang di Penjara (Rumah Tahanan Negara).
3) Pembunuhan atau kejahatan dengan menghilangkan nyawa orang lain dapat dikenakan sanksi tapa dan prayascita serta dapat menghilangkan dosa-dosanya dengan mengucapkan mantram-mantram yang telah ditentukan. Mengenai kejahatan pembunuhan ini diatur dalam Pasal 127 sampai dengan Pasal 131 juncto Pasal 249 Ekadaso’dhyayah Veda Smrti juncto Pawos 1 dan Pawos 52 Sastra Agama.
b. Subyek hukum yang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan hukum tertentu. Misalnya: Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dapat dikenakan sanksi hukuman. Dalam hubungan ini tentunya setiap orang yang ada kaitannya dengan perbuatan pidana (delict) yang dilakukannya, sebagai disebutkan “doesta akoetoes” (Djilantik,1909:24) atau asta dusta,antara lain:
1 Ingsakah; 2 Tjodekah; 3 Boktah; 4 Bodjekah; 5 Satjarakah; 6 Pritikah; 7 Astanadah moewah 8 Tritah.
Hal ini diatur di dalam Pawos 131 Adi Agama.
1) Ingsakah adalah pelaku atau orang yang melakukan sendiri perbuatan pidana (plegen, bahasa Belanda),
2) Satjarakah adalah orang yang ikut serta melakukan perbuatan pidana (medeplegen, bahasa Belanda),
3) Tjodekah adalah orang yang menyuruh melakukan perbuatan pidana (doen plegen, bahasa Belanda),
4) Orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana (Uitlokken, bahasa Belanda), termasuk
5) Pritikah Orang yang berteman dengan pelaku perbuatan pidana,
6) Astanadah orang yang menyembunyikan pelaku perbuatan pidana,
7) Bodjekah adalah orang yang makan bersama dengan pelaku perbuatan pidana
8) Tritah Tritah adalah orang yang memberikan jalan atau petunjuk kepada pelaku perbuatan pidana.
Semua perbuatan di atas dilarang dan dapat diancam dengan sanksi hukuman. Hal ini didasarkan pada Pawos 1 Sastra Agama
c Hukuman
apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang
menurut ketentuan merupakan kejahatan? Dalam hal ini berkaitan dengan sanksi
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, apakah tapa (pemenjaraan), prayascitta
(memulihkan kembali kondisi lingkungan yang tercemar akibat perbuatan pidana
yang dilakukan), apakah sanksi wrata ataupun sanksi membayar danda (denda), ini
tergantung berat ringan akibat hukum yang ditimbulkannya.
Kantaka Sodhana formal , yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan cara-cara negara menggunakan hak-haknya untuk melaksanakan hukuman. Dapat pula dikatakan, bahwa Kantaka Sodhana formal, adalah sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan cara-cara menerapkan Kantaka Sodhana Material. Kantaka Sodhana Material disebut pula Kantaka Sodhana Acara (Hukum Acara Pidana Hindu).
B Ruang Lingkup Kantaka Sodhana
Kantaka Sodhana formal , yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan cara-cara negara menggunakan hak-haknya untuk melaksanakan hukuman. Dapat pula dikatakan, bahwa Kantaka Sodhana formal, adalah sejumlah peraturan-peraturan yang berisikan cara-cara menerapkan Kantaka Sodhana Material. Kantaka Sodhana Material disebut pula Kantaka Sodhana Acara (Hukum Acara Pidana Hindu).
B Ruang Lingkup Kantaka Sodhana
Kantaka Sodhana pada umumnya mengatur hal-hal yang menyangkut tentang dusta, corah dan paradara serta sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepadanya. Dusta, corah dan paradara menurut Slokantara merupakan Pataka (kejahatan), sehingga Dusta dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap nyawa orang lain, Corah adalah kejahatan terhadap harta benda orang lain. Paradara adalah kejahatan terhadap kesopanan atau kesusilaan.
C Sifat-Sifat Kantaka Sodhana
Kantaka Sodhana sebagai Hukum Pidana Hindu bersifat public law (hukum publik), yaitu suatu ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum, sehingga Kantaka Sodhana dapat dikatakan Penal law was a part of public law (Krisnha Rao,1979: 112). Suatu ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum, tentunya hukum itu dapat berlaku terhadap setiap orang tanpa kecuali di negara yang dimaksud.
D Sumber Hukum Kantaka Sodhana
Di dalam Veda Smrti atau Manawa Dharmaçastra disebutkan secara kronologis sumber hukum agama Hindu adalah Veda Sruti, Smrti, Çile, Ācāra dan Atmanastuti. Sruti (Veda) merupakan sumber utama dari semua sumber hukum dimaksud. Sruti merupakan sumber hukum untuk mendapatkan kebenaran hukum, untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laku seseorang dan untuk menentukan apa yang harus serta yang tidak boleh dilaksanakan. Apabila pada Sruti tidak ditemukan kebenaran itu, maka dapat dicari pada Smrti. Adakalanya kebenaran dimaksud ada pada Sruti maupun Smrti. Apabila pada Sruti maupun Smrti tidak ditemukan, maka kebenaran dapat dicari pada Çila yang merupakan tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Veda. Selanjutnya apabila pada ketiga sumber hukum itu tidak ditemukan suatu kebenaran, maka dicari pada Ācāra atau kebiasaan-kebiasaan yang telah lama berlaku. Apabila tidak ditemukan juga maka dilihat pada Atmanastuti yaitu kebenaran yang dapat memuaskan diri pribadi seseorang. Dasar hukum sumber-sumber dimaksud dapat dilihat pasal 6 Dvityo’dhyayah (buku II) Veda Smrti sebagai berikut :
Vedo’kilo dharmamulam
smrti çile ca tadvidam
ācāraçciva sādhūnām
ātmanastutireva ca.
Veda adalah sumber pertama daripada dharma kemudian adat istiadat dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi (Pudja, 1973:62).
Menurut Gede Pudja dalam bukunya yang berjudul ”Apakah Hukum Hindu itu”, menguraikan bahwa :
Sruti menurut penafsiran otentis dalam kitab Smrti itu ialah Weda dalam arti murni, yaitu wahyu-wahyu yang dihimpun dalam beberapa buah buku, disebut mantra samhita (terdiri dari empat buku, yaitu Rg. Weda, Yajur Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda), Brahmana dan Aranyaka. Kalau dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan Negara, Sruti dianggap sebagai UUD, karena Sruti merupakan sumber atau asal dari ketentuan-ketentuan berikutnya. Dalam hal ini Smrti merupakan peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat sebagai ajaran atau pedoman berdasarkan Sruti. Karena itu Smrti dalam perundang-undangan dalam suatu negara adalah sebagai UU, baik UU Organik maupun UU Anorganik. (Pudja, 1977:21)
Sebagaimana halnya tingkatan dari peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia maka Sruti adalah Undang-Undang Dasar yang pembuatnya adalah Tuhan dan Sruti sebagai Undang-Undang Dasar dapat dikatakan Undang-Undang dari semua Undang-Undang. Dengan demikian, maka Sruti, Smrti, Sila, Ācāra dan Atmanastuti adalah termasuk sebagai sumber hukum dari Kantakasodhana.
Umat Hindu Indonesia yang merupakan warga negara Republik Indonesia, harus tunduk pada kekuasaan hukum yang bersumber pada perundang-undangan negara seperti Undang-Undang Dasar, undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya. Juga harus tunduk pada hukum yang bersumber pada kitab suci yaitu Veda.
Pada pasal 10 Dvityo’dhyayah Veda Smrti menyebutkan bahwa Smrti adalah Dharmasastra. Dharma adalah kebiasaan-kebiasaan atau hukum berdasarkan adat tertulis. Acara adalah kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi tidak tertulis. Sila merupakan asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Atmanastuti sebagai rasa puas pada diri pribadi. Rasa puas ini adalah ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Rasa puas menurut Veda diukur dari sistem kemajelisan (Parisada).
Dalam mencapai rasa puas, maka kepuasan harus didasarkan pada kebenaran yang mendekati kebenaran yang terbenar.
Selanjutnya dapat pula dikatakan, oleh karena Sruti, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastuti sebagai sumber Kantaka Sodhana, maka tidak ditutup kemungkinan dalam praktek Hukum Hindu di negara Indonesia menggunakan ketentuan-ketentuan hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku ditempat itu. Dalam hal ini tentunya kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari Hukum Hindu atau hukum adat Hindu, sebagai dijelaskan oleh G. Pudja (1977:34) berikut ini:
”Secara sumir telah dikemukakan pula bagaimana bagian-bagian dari ajaran dan pasal-pasal Dharmasastra itu telah dioper dan dipergunakan sebagai hukum pada masa Kerajaan Hindu di Indonesia. Bukan pada masa kerajaan Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan berpengaruh pula dalam hukum positif di Indonesia melalui bentuk-bentuk hukum adat. Bentuk acara hukum dan kehidupan hukum Hindu yang paling nyata masih terasa sangat banyak berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan Lombok, sebagai hukum yang berlaku hanya bagi golongan Hindu semata. Berlakunya hukum Hindu menjadi hukum positif di daerah itu terutama dipaksakan dalam bentuk produk-produk hukum yang dibuat oleh penguasa”.
Kitab-kitab Hindu yang merupakan sumber hukum Hindu menurut Ketut Pasek (1981:81) : ”Ada 7 (tujuh) eksplar kitab hukum yang setara: 1. Agama, 2. Adigama, 3. Sarasamuscaya, 4. Rajapati Gundala, 5. Siwa Sasana, 6. Kutara Manawa, 7. Purwadigama”.
1. Kitab Agama
Ialah kitab Kutara Manawa yang terkumpul menjadi satu dari pecahan aslinya yaitu Kutara ciptaan Bhregu dan Manava ciptaan Manu. Kitab ini banyak persamaan dengan kitab hukum aslinya yaitu Manawa Dharmasastra.
2. Adi Gama
Ialah kitab yang disusun oleh Wikrama Wardana Raja Majapahit pada tahun 1323 Saka. Isinya peraturan-peraturan yang harus dijalankan oleh patih tuan Kanaka.
3. Saracamuscaya
Menurut GENSE, terdiri dari kata :
Sara artinya mengalir.
Camus artinya sumber (kumpulan).
Caya artinya cahaya.
Sedangkan menurut Pak Kajeng dalam bukunya alih Bahasa. Dalam SARASAMUCCAYA, menguraikan bahwa istilah Sarasamuccaya berasal dari kata :
Sara = utama, terbaik, sari pati.
Sam = lengkap.
Utcaya = himpunan
Dari pengertian yang diuraikan diatas maka Sarasamuccaya adalah himpunan/sumber norma-norma yang utama baiknya sebagai pedoman bertingkah laku.
4. Rajapati Gundala
Isinya peraturan-peraturan yang dibuat oleh seorang raja.
5. Siwa Sasana
Peraturan-peraturan kesusilaan bagi penganut Agama Siwa.
6. Kutara Manawa
Isinya Asta Dasa Vyavahara yang merupakan inti sari dari kitab tersebut. Juga berisi aturan-aturan hukum adat yang tertulis yang disebut : Dasa Drstha. Hal ini sesuai dengan yang ditetapkan pada pasal 6 dan pasal 10 Dvityo’dhyayah Veda Smrti. Hukum adat yang dimaksudkan di sini tentunya adat Hindu.
7. Purvadigama
Memuat keterangan-keterangan tentang Pradvivaka atau Dewan Agama dan Vyavahara Icedaka yaitu dewan pengadilan yang meliputi Dharmadyaksa dan Sapta Upapati.
E.Perkembangan Kataka Sodhana Di
Aman Manu
Zaman Manu
Dalam agama
Hindu, Manu adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman dalam
satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Zaman
sekarang adalah Manwantara ketujuh dan diperintah oleh Manu ketujuh yang
bergelar Waiwaswata Manu.
Manu yang
pertama adalah Swayambu Manu, yang dianggap sebagai kakek moyang manusia.
Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari
Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada
manusia zaman sekarang. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa
merupakan pria dan wanita pertama di dunia, sama seperti Adam dan Hawa dalam
agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Waiwaswata
Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan),
yaitu dewa matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman
Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di
Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan
(Narisyanta), Nabaga, Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan
Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang
menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari
Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara).
Menurut
agama Hindu, keberadaan alam semesta tak lepas dari siklus kalpa. Satu kalpa
berlangsung selama jutaan tahun, dan satu kalpa terdiri dari empat belas
Manwantara (siklus Manu). Setiap Manwantara diperintah oleh seorang Manu.
Menurut Purana, enam Manwantara telah berlalu dan Manwantara yang ketujuh
sedang berlangsung. Manwantara yang sekarang diperintah oleh Waiwaswata Manu.
Jadi, tujuh Manwantara lainnya akan terjadi di masa depan, dan dipimpin oleh
seorang Manu yang baru. Daftar para Manu dipaparkan di bawah ini:
Manwantara
Manu
Pertama
Swayambu
Kedua
Swarocisa
Ketiga
Utama
Keempat
Tamasa
Kelima
Raiwata
Keenam
Caksusa
Ketujuh
Waiwaswata
Kedelapan
Sawarni
Kesembilan
Daksasawarni
Kesepuluh
Brahmasawarni
Kesebelas
Darmasawarni
Kedua belas
Rudrasawarni
Ketiga belas
Rocya atau Dewasarni
Keempat belas Botya
atau Indrasawarni
Dari
Wikipedia, ensiklopedia bebas disebutkab bahwa dalam berbagai Hindu tradisi,
Manu adalah sebutan diberikan kepada nenek moyang umat manusia, dan juga
brahmana pertama raja yang memerintah bumi ini, yang menyelamatkan umat manusia
dari banjir universal. Dia benar-benar jujur yang mengapa ia awalnya dikenal
sebagai "Satyavrata" (Satu dengan sumpah kebenaran). Istrinya
Shraddha (niharika)
Mahabharata
mengatakan: "Dan Manu diimbuhi dengan kebijaksanaan besar dan dikhususkan
kepada kebajikan Dan dia menjadi nenek moyang, dari Manu telah lahir semua
manusia, yang memiliki, karena itu, disebut Manavas Dan itu adalah Manu...
bahwa semua orang termasuk Brahmana, Ksatria, dan lain-lain telah turun, dan,
karena itu, semua yang disebut Manavas. Selanjutnya, O raja, Brahmana menjadi
bersatu dengan Ksatria Dan orang putra Manu Brahmana yang mengabdikan diri
untuk mempelajari. Veda.
Dalam dan
juga lainnya. Diceritakan bahwa pada saat Raja (yang lebih dikenal sebaga mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil
menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan.
Dari cerita itu dapat diartikan bahwa purana juga menceritakan tentang raja
Manu itu sendiri.
2 Perkembangan Kantaka Sodhana(Hukum Pidana
Hindu) Pada Zaman Manu
Smrti merupakan kitab-kitab teknis
yang merupakan kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti. Smrti
bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang bersifat authentik,
penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu
buku yang disebut Dharmasastra.
Dari semua jenis kitab Smrti yang
terpenting adalah kitab Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab
Hukum Hindu. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:
- Jaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.
- Jaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.
- Jaman Dwapara Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha Likhita.
- Jaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara.
Manusmṛti
(ditulis juga sebagai Manusmriti atau Manusmruti) ( Sansekerta : मनुस्मृति), juga
dikenal sebagai Mānava-Dharmaśāstra ( Sansekerta : मानवधर्मशास्त्र), adalah
pekerjaan yang paling penting dan awal dari Dharmaśāstra tradisi tekstual Hindu
. Pada umumnya dikenal sebagai Hukum Manu, itu pertama kali diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris pada 1794 oleh Sir William Jones , seorang Orientalis
Inggris dan hakim dari Mahkamah Agung Inggris Peradilan di Calcutta. teks ini
menyajikan dirinya sebagai wacana yang diberikan oleh Manu , yang nenek moyang
manusia kepada sekelompok pelihat, atau resi , yang mohon dia untuk memberitahu
mereka "hukum dari semua kelas sosial". Manu menjadi titik acuan
standar untuk semua Dharmaśāstras masa depan yang mengikutinya.
Perkembangan
kantaka sodhana pada Zaman Manu dapat diartikan sebagai perkembangan hukum atau
aturan yang dibuat oleh raja Manu sebagai manusia pertama dalam menciptakan
serta menjaga keteraturan hidup masayrakat hindu pada zaman manu itu sendiri.
Pada zaman manu telah dibuat beberapa aturan-aturan khususnya yang terkait
dengan ranah pidana (kantaka sodhana) walaupun belum tertata serta tersusun
dengan jelas.
Ketentuan
hukum mengenai kantaka sodhana( hukum pidana hindu) dapat kita lihat dalam
Aydhyaya VIII ManawaDharmasastra mengenai hukum sipil dan pidana. Dalam
Aydhyaya VIII Manawadharmasastra disebutkan bahwa ada ada 18 titel hukum yang
termasuk dalam ranah hukum publik(hukum pidana hindu) serta ranah hukum
privat(hukum perdata hindu) yang dimana keduanya belumlah dispesialisasikan
menurut jenisnya masing-masing.
Dalam buku
Manawadharmasastra oleh G. Pudja(342-498) disebutkan beberapa tindakan pidana
diantaranya meliputi tindak pencurian, zina, penipuan, kekerasan serta tindak
perjudian yang dianggap mengganggu serta meresahkan ketertiban masyarakat
secara umum atau pidana beserta sanksi tegas yang mengaturnya.
Demikian
dapat dijelaskan perkembangan kantaka sodhana pada jaman Manu yang terus
mengalami perkembangan serta perbaikan dari masa ke masa dalam artian selalu
mengalami perbaikan dari jaman manu pertama hingga ke beberapa keturuan manu
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar