Hari Raya Suci Berdasarkan Pawokon
TUGAS KELOMPOK
STUDY
ACARA HINDU II
Hari Raya
Suci Berdasarkan Pawokon
Disusun Oleh
:
Nama : I Komang Adi Purnawa (131 111 42 )
:
Ida Bagus Putu Wikrama ( 131 111
08 )
:
Desak Made Budi Suastiti (131 111
24 )
:
Pande Ni Putu Yuli Asriani (131 111
54 )
:
Ni Putu Candra Malini ( 131
111 55 )
Jurusan/sem : Semester V pendidikan
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
SEKOLAH
TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM
2014
HARI RAYA BERDASARKAN PAWUKON
Pada hakekatnya semua agama memiliki hari suci atau
hari-hari besar keagamaan. Demikian pula dengan agama Hindu banyak sekali
memiliki hari-hari suci keagamaan seperti Hari Raya Nyepi, Galungan, Kuningan,
Saraswati, Siwaratri, dan yang lainnya.
Hari-hari suci bagi umat Hindu hari yang sangat baik
untuk melakukan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta
manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada hari-hari tersebut merupakan hari-hari
yang baik untuk melaksanakan yadnya.
a.
Pengertian Hari Suci
Hari
suci atau rerahinan adalah hari yg diperingati atau di istimewakan
berdasarkan kenyakinan bahwa hari itu mempunyai makna bagi kehidupan
seseorang/masyarakat karena pengaruhnya dan karna nilai-nilai didalamnya. Bila
peringatan hari suci itu dilakukan secara rutin maka acara itu disebut Rerahinan
atau sehari-hari. Bila kita pelajari acara rerahinan ini maka hari-hari
suci itu ada pada siklus tertentu, dan mempunyai hari puncak dimana hari puncak
itu akan kembali kehari permulaan.
Hari suci
yang dirayakan oleh seluruh umat disebut hari raya atau rerahinan gumi (jagat). Sedangkan hari suci yang dirayakan oleh
kelompok-kelompok tertentu disebut dengan nama odalan atau piodalan. Piodalan
atau pawedalan berasal dari kata Wedal yang artinya lahir. Jadi pawedalan atau
piodalan merupakan hari suci untuk memperingati kelahiran sesuatu (bukan
manusia) atau hari jadi suatu Pura (Karena piodalan biasanya ditujukan untuk
tempat suci atau sesuatu lainnya seperti Hari suci Galungan disebut sebagai
hari pawedalan jagat.
b.
Prinsip Pokok Hari Suci
Untuk
menentukan hari suci, didasarkan atas beberapa perhitungan, diantaranya
Wewaran, Pawukon, penanggal, panglong, dan sasih. Hal ini banyak dijelaskan
didalam Wariga yaitu pedoman untuk mencari ala-ayuning (baik-buruknya) hari
atau dewase.
Berbagai macam
proses, prinsip dan ketentuan yang melatarbelakangi perhitungan dan pelaksanaan
atau perayaan hari-hari suci agama Hindu. Adapun dasar perhitungan yang
dimaksud seperti :
1. Sistem perhitungan wara, yaitu perhitungan yang didasarkan
atas adanya wewaran, misalnya perpaduan antara Tri Wara dengan Panca Wara dan
Sapta Wara.
2. Sistem perhitungan wuku, yaitu perhitungan hari Suci yang
didasarkan atas pawukon, yakni dai wuku sinta sampai dengan watugunung.
3. Sistem pranatamasa, yaitu perhitungan hari
suci yang didasarkan atas sasih.
4. Sistem tithi, yaitu perhitungan hari suci yang
dihubungkan dengan peredaran bulan, seperti purnama dan tilem.
5. Sistem naksatra, yaitu hari suci yang
dirayakan berdasarkan perhitungan musim atau yang bersifat musiman.
6. Sistem yoga, yaitu hari suci yang dirayakan
berdasarkan perhitungan letak letak tata surya atau planet-planet angkasa.
Mengingat keberadaan planet-planet tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan terutama manusia.
7. Sistem karana, yaitu hari suci yang dirayakan
berdasarkan perhitungan pertemuan antar bulan dengan matahari.
Demikian dasar perhitungan pelaksanaan hari suci agama
Hindu yang dirayakan setiap 15 hari, 30 hari, 35 hari, 210 hari, dan 360 hari
sekali. Perayaan hari-hari suci yang dimaksud sudah tentu memiliki tujuan yang
ingin diwujudkan yakni “keselamatan/kerahayuan” bhuwana alit dan bhuwana agung
sebagaimana tersuratkan dalam kitab suci Weda yakni terwujudnya moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
c.
Penanggal dan Panglong
Perhitungan baik buruknya hari berdasarkan atas
penanggal dan panglong :
1. Tanggal atau
pananggal disebut juga Sukla Paksa yang berarti bulan terang (setelah bulan
mati) yaitu hari-hari setelah tilem seperti hari pertama setelah tilem disebut
tanggal apisan (tanggal 1), hari kedua tanggal pindo (tanggal 2) dan seterusnya
sampai tanggal 14 yang disebut purwani, dan tanggal 15 disebut Purnama.
2. Panglong disebut juga
Kresna Paksa yang berarti bulan gelap (waktu bulan gelap) yaitu hari-hari
setelah Purnama, seperti hari pertama setelah purnama disebut panglong apisan
(panglong 1), hari kedua disebut panglong 2 dan seterusnya sampai panglong 14
yang disebut juga purwani dan panglong 15 disebut tilem.
Tanggal atau penanggal dan panglong itu mempunyai
perhitungan baik dan buruk hari (ala-ayu), disamping itu ada pula perhitungan
sedang (tidak baik dan tidak buruk atau madia). Demikian pula apabila pananggal
panglong itu bertemu dengan sapta wara, panca wara, sasih, dan yang lainnya,
maka akan muncul padewasan baik dan buruk (ala-ayu).
d.
Jenis – jenis Hari Suci
1. Hari raya atau yadnya
dilakukan setiap hari. Sebagai contoh para sulinggih melakukan Surya Sewana,
umat Hindu melakukan Tri Sandhya, Yoga Yadnya, Swadhyaya Yadnya, dan
Dyanayadnya. Yang harus dilakukan tiap hari adalah Yadnya Sesa
2. Hari raya berdasarkan
pertemuan Tri Wara dengan Panca Wara
Artinya
persembahan yang dilakukan pada pertemuan antara hari Kajeng (Tri Wara), dan
Kliwon (Panca Wara) sehingga didapatkan hari suci Kajeng Kliwon. Kliwon
datangnya setiap lima hari sekali, Sang Hyang Siwa bersemedi,pemujaan
terhadap sang Hyang Siwa. Kajeng Kliwon datang setiap 15 hari
sekali,pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa
3. Hari Raya Berdasarkan
pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara
Artinya
persembahan dilakukan pada pertemuan Sapta Wara denga Panca Wara, antara lain
sebagai berikut:
1. Anggara Kliwon
disebut pula Anggara Kasih, pada hari ini beryoga Sang Hyang Rudra.
2. Budha Wage disebut
juga Budha Cemeng, beryoga Sang Hyang Manik Galih menurunkan Sang Hyang Ongkara
Amertha di bumi ini. Yadnya dipersembahkan kepada sang Hyang Sri Nini, agar
diciptakan kemakmuran dunia
3. Budha Kliwon, hari
ini namanya sering disesuaikan dengan wukunya. Hari Budha Kliwon adalah
hari penyucian Sang Hyang Ayu atau sang Hyang Nirmala Jati Sehingga
persembahan ditunjukkan padanya
4. Saniscara Kliwon hari
ini namanya sering disesuaikan dengan nama wuku.Persembahan ini ditujukan
kepada Sang Hyang Parameswara
4. HariRaya Berdasarkan
Pawukon
Hari raya
berdasarkan pawukon adalah hari raya yang perhitungannya berdasarkan wuku,
antara lain :
Hari Raya
pawukon Adalah Hari Raya Yang Perhitunganya Berdasarkan Pawukon Atau Wuku
Sebagai Berikut
1. Uku Sinta :
a. Coma Ribek : Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri
Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara memujanya
ialah : Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga
serba harum. Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi,
demikian juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh
Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu, sabda, idep
), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada hari itu, tidak
diperkenankan tidur pada siang hari. b. Sabuh Mas : Pada Hari Anggara Wage,
disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan untuk memuja Bhatara Mahadewa,
dengan jalan melakukan upacara Agama, terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara : Suci, daksina, peras penyeneng,
sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang semacam itu). Bagi
orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan janganlah takabur
terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka, melainkan ratna mutu
manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu dimuliakan. Demikianlah,
setelah selesai menyuguhkan kepada Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu,
patutlah diayap untuk diri kita. c. Pager Wesi : Pada hari Buda Kliwon ( Sinta
), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti
oleh Dewata Nawasanga, yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk
hidup yang ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para
sulinggih memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah : Daksina,
suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman, serta raka-raka,
wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan (disuguhkan) di Sanggah
kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah : Sesayut pageh hurip 1, serta
prayascita, setelah tengah malam, dilakukan yoga samadi (renungan suci). Dan
ada pula sesuguh kepada Panca mahabuta (lima unsur alam) yaitu : Segehan
berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan di natar
sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).
2. Tumpek Landep : Juga pada wara Landep, yaitu hari
Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang
Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah : Tumpeng putih kuning
satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi merah, pinang dan sirih, dan
banten itu dihaturkan di Sanggah. Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang
Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah : Sesayut jayeng perang, sesayut
kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya
persenjataan. Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia
ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian
patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.
3. Wuku Ukir : Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis,
adalah hari untuk melakukan pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara
bebantennya, ialah : Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ),
kwangen 8 buah, bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun
dapat juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut
kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang dipuja
di sanggar kemulan.
4. Kulantir : Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon
adalah hari unuk memuja Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning
yakni : Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu,
sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten itu
dihaturkan disanggar.
5. Uku Wariga : Uku wariga, yakni hari Saniscara
keliwon, disebutlah hari Panguduh, suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang
sangkara, sebab beliaulah yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan
termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah : Peras, tulung, sesayut, tumpeng
bubur dan tumpeng Agung dengan ikan babi, atau itik diguling. Baik pula
disertai dengan raka-raka, penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun
bebanten tersebut diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka
segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan
untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta sejahteranya hubungan
lahir bathin.
6. Warigadian :
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk penghormatan
kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sebagai berikut : Sedah
woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di Paibon,
serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.
7. Sungsang : Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati
wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari
tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita ( pensucian ), para
Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu,
dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu
dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi
orang yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka seyogyanyalah
melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi,
Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para
Bhatara turun kedunia disertai para Dewa pitara, untuk menikmati upacara
pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu
orang-ornag hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut
dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin,
demikian patut dilaksanakan.
8. Dungulan :
a. Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang Hyang Tiga
Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang Bhuta Galungan, yang
ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena itu, orang-orang suci,
demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya waspada serta mengekang /
membatasi dirinya kemudian memusatkan pikirannya kearah kesucian, agar tiada
kemasukan oleh sifat-sifat yang membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta
Galungan, dan hal yang demikian, disebutlah hari penyekeban. b. Pada hari coma
pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan pikiran untuk
menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara. Itulah sebabnya, mengapa pada hari
itu disebut : Penyajaan oleh dunia ( Hindu ). c. Pada hari Anggara Wage,
disebutlah hari penampahan, Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan
memangan. Oleh karena itu, patutlah dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh
desa Adat, dengan korban caru kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa
adat, adapun korban yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya
bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang
patut memuja, ialah para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang
dimaksud Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai
wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni
Pemangku). Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu
diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula bagi
orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ), upacara-upacara tsb,
bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama dalam perjuangan hidup yang
patut disuguhkan di masing-masing pekarangan rumah ialah : Segehan warna, 3. ditaburkan
menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam, 4. bang, 9. ikannya olahan babi,
tetabuhan, disertai segehan Agung, 1. Adapun tempat melakukan caru, ialah di
natah pekarangan rumah, di sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat
pada waktu menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut
dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita, dan
sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala
(lahir-batin). d. Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa
untuk memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan upacara
persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat tidur,
pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu, tumbal, pangulun
Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk, lautan, sampai pada
perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian, dengan suguhan yang
dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar kecilnya sbb : Tumpeng payas,
wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang disuguhkan di Sanggar. Adapun
banten dibalai-balai, ialah : tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan,
dan perlengkapannya. Sedangkan ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa
harum. Setelah selesai itu semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam,
banten itu semuanya jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.
9. Kuningna : a. Pada redite wage, disebut pemaridan
guru, pada hakekatnya ialah saat kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju
kahyangan, jelasnya, bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan
kesejahteraan panjang umur. Maka upacaranya : ialah : Menghaturkan ketipat
banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan. b.
Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya, patut melakukan
segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan memakai sambleh ayam
semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta Galungan dan para abdinya agar
pergi. c. Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka
upacaranya ialah: Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai
tumpeng hitam serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada
Bhatara di paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya. d.
Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata sekalian, serta
sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian, lalu menikmati upacara
bebanten, yakni : Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya,
pebersihan, canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen
tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat atau kandang segala binatang
ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan
seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari,
Dewa-Dewa telah kembali ke sorga. Lain dari pada itu, yang patut dipakai
mendoakan manusia : Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik
putih, panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang suci
bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan pasegehan
di natar, yakni segehan Agung, 1.
10. Pahang : Pada Hari Buda keliwon, disebut
pegatwakan dan penjelasannya adalah, bahwa pada hari itu titik selesainya
memusatkan renungan ngekeb pikiran bersemadhi, dalam hubungannya, bahwa sang
wiku dan para orang-orang sekalian patut membathinkan renungan suci,
mempersatukan ciptannya untuk mendapatkan kesadaran, dari mana asalnya kita
pada mulanya, renungn mana disertai dengan upakara serba suci : Wangi-wangi dan
sesayut dirghayusa, dihaturkan kehadapan Hyang widhi Tunggal, upakara mana
dilengkapi dengan penyeneng dan tetebus.
11. Merakih : Sukra Umanis, adalah hari pemujaan
Bhatara Rambut Sedana, dan beliau juga disebut Sang Hyang Rambut Kaphala,
adapun upacara bebantennya : Suci, daksina, pras, penek, ajuman, sodha putih
kuning, dihaturkan kepada Sang Hyang rambut Sedana, keterangannya, ialah memuja
melalui pralingga beliau, yang berujud perak, mas, wang, namun ditujukan kepada
Sang Hyang Kamajaya (manifestasi Hyang Widhi yang memberi kenikmatan hidup).
12. Uye : Uku Uye, yakni pada hari Saniscara keliwon,
disebut Tumpek Kandang, hari pelaksanaan upacara kepada binatang-binatang,
seperti binatang sembelihan / ternak, kalau untuk sapi, kerbau, gajah, dan
sebagainya, upacara yang diberikan, adalah sebagai berikut : Tumpeng, tebasan,
paresikan, panyeneng, dan jerimpen. Kalau unuk bawi : Tumpeng, penyeneng,
canang raka, - Kalau untuk bawi betina : Ketipat bekok, belayag bersama dengan
segaaon. Kalau untuk sebangsa burung, ayam, itik, angsa, kwir, perkutut, dan
sebangsanya : Ketipat sesuai dengan bentuknya, kalau untuk burung, ketipat
paksi, kalau untuk ayam ; ketipat ayam, disertai dengan panyeneng, tetebus dan
bunga-bungaan. Keterangannya, ialah bahwa upacara itu, seperti mengupacarai
manusia, dengan mengambil bentuk utamanya pada binatang, seperti burung, ikan,
karena badan itulah umpama binatang, sedangkan jiwanya adalah Sang Hyang
Rareangon ( Çiwa ).
13. Wayang : Secara keseluruhan pada hari itu, adalah
saat bertemunya Sang Wayang dengan Sang Sinta. Disebutlah bahwa wuku itu cemar,
sehingga tidak dibenarkan kalau melakukan pensucian, berhias-hias, demikian
juga bersisir, terutama pada hari Sukranya, karena berakibat ternodanya nilai
diri. a. Pada hari Sukra Wage, dinamai hari kala paksa, ( Ala paksa), yakni
waktu karogan namanya. Oleh karena itu orang-orang sewajarnyalah melakukan
pembatasan, (secara simbolis), dengan menggoreskan kapur, tepat pada dadanya
(tapak dara). Dan mesesuwuk (menempatkan suatu tanda) dengan daun pandan
berduri, bertempat dibawah dipan tempat tidur, (juga diruangan pintu). Pada esok
paginya, semua sesuwuk pandan tsb, dikumpulkan dan bertempat pada sebuha nyiru
( sidi ), disertai segehan lalu buanglah didengen, yakni dimuka halaman keluar
pekarangan. Dalam pada itu, perlu disertai ucapan dalam pembuangannya dengan
sesapa yang bermaksud membuang kecemaran-kecemaran. b. Menjelang hari Saniscara
keliwon, adalah hari pemujaan pada Dewa Iswara, dengan prantara mengupacarai
segala kesenian (baik yang bersifat sakral,maupun yang bersifat propan), yaitu
: gong, gender, dan segala unen-unen lainnya. Adapaun bebanten untuk itu, ialah
: Suci, pras, ajengan, ikannya itik putih, sedah woh. Canang raka, dan pasucen
selengkapnya. Sedangkan widhiwidhana untuk manusia yang diibaratkan sebagai
wayangnya Hyang Suksma, perlu diadakan pangastiti terhadap diri pribadinya,
yakni : Sesayut tumpeng Agung, 1, dan penyeneng. Sebab badan kita itu, juga
ibarat wayang, dan Sang Hyang Iswara ibarat dalang. Adapun pelaksanaannya,
itulah ibarat gerak gerik dalam lakonnya. Jadi tidaklah berkenan ia dijadikan
pengantar yadnya (apabila) tiada dilakukan pemujaan. Maka janganlah hendaknya
orang tidak mau melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang
Triwiradnyana (yang menjadi sumber gerak, kata-kata, dan pikiran). Jika
dilanggar nerakalah jiwanya.
14. Watugunung : Saniscara Umanis, adalah hari
pujawali Bhatara Saraswati adapun upacaranya : Suci, peras, daksina palinggih,
kembang payas, kembang cane dan kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan
)rantasan) putih kuning, serta raka-raka tidak terkecuali dengan runtutannya,
Sang Hyang pustaka (Lontar-lontar keagamaan), tempat menuliskan Aksara, itulah
yang patut diatur yang sebaik-baiknya, dipuja, dan diupacarai dengan puspa
wangi : inilah yang disebut memuja Sang Hyang Bayu (gerak, kata-kata dan
pikiran). Pada umumnya waktu keadaan yang demikian (dalam memuja dengan
bebanten), tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan
kidung kekawin, melakukan kewajarannya ialah melakukan yoga. Komentar : Saat
melakukan yoga samadhi, bayu, sabda idep dipusatkan semuanya secara meditasi,
maka itu tidak melakukan bacaan-bacaan/menulis. Setelah saat-saat tsb, dalam
rangka merayakan memeriahkan, pada nantinya tidak merupakan halangan mengadakan
pembacaan-pembacaan dengan tujuan yang baik, antara lain memperdalam dan
menghayati intisarinya.
15. SINTA Pada hari Redite paing pagi-pagi, disebut
Banyupinaruh, saat melakukan penyucian , yakni membersihkan diri kebeji
(permandian), kemudian mensucikan diri dengan mempercikan air kumkuman.
Kemudian lanjutkan dengan menghaturkan lelabaan pada Bhatara-Bhatara di Sanggar
masing-masing yaitu: Sege atau punjung pradnyan jenar (gading), dan jejamu
serba harum, yang dihayap oleh masing-masing.
16. PANCAWARA KLIWON dan pada hari Pancawara, yakni
setiap datangnya hari Kliwon, adalah saat beryoganya Bhatara Çiwa, sepatutnya
pada saat yang demikian, melakukan pensucian dengan menghaturkan wangi-wangi
bertempat di Merajan, dan diatas tempat tidur, sedangkan yang patut disuguhkan
dihalaman rumah, halaman Merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, ialah
segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut
diatas, disuguhkan tiga tanding yakni : a. dihalaman Sanggar, kepada Sang Bhuta
Bhucari b. di Dengen, kepada Sang Durgha Bhucari c. untuk dihalaman rumah, kepada
Sang Kala Bhucari adapun maksud memberikan laba setiap hari Kliwon, ialah untuk
menjaga, agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan
menjadi sempurna.
No
|
||||
1
|
Sinta
|
Redite
Soma Anggara Buda |
Paing
Pon Wage Kliwon |
|
2
|
Landep
|
Saniscara
|
Kliwon
|
|
3
|
Ukir
|
Redite
Buda |
Umanis
Wage |
|
4
|
Kulantir
|
Anggara
|
Kliwon
|
Anggara Kasih Kulantir
|
5
|
Wariga
|
Saniscara
|
Kliwon
|
Tumpek Wariga/Pangatag
|
6
|
Warigadean
|
Saniscara
|
Paing
|
Penyucian Bhatara Brahma
|
7
|
Julungwangi
|
Anggara
|
Kliwon
|
Anggara Kasih Julungwangi
|
8
|
Sungsang
|
Wraspati Sukra
|
Wage Kliwon
|
|
9
|
Dungulan
|
Radite
Soma Anggara Buda Wraspati Saniscara |
Paing
Pon Wage Kliwon Umanis Pon |
|
10
|
Kuningan
|
Radite
Soma Buda Sukra Saniscara |
Wage
Kliwon Paing Wage Kliwon |
|
11
|
Langkir
|
Buda
Sukra |
Wage
Kliwon |
Buda Cemeng Langkir
|
12
|
Medangsia
|
Anggara
|
Kliwon
|
Anggara Kasih Medangsia
|
13
|
Pahang
|
Buda
|
Kliwon
|
|
14
|
Krulut
|
Saniscara
|
Kliwon
|
|
15
|
Merakih
|
Buda
Sukra |
Wage
Umanis |
Buda Cemeng Merakih
Wedalan Bhatari Sri |
16
|
Tambir
|
Anggara
|
Kliwon
|
Anggara Kasih Tambir
|
17
|
Matal
|
Buda
|
Kliwon
|
Buda Kliwon Matal
|
18
|
Uye
|
Saniscara
|
Kliwon
|
|
19
|
Menahil
|
Buda
|
Wage
|
Buda Cemeng Menahil
|
20
|
Prangbakat
|
Anggara
|
Umanis
|
Anggara Kasih Prangbakat
|
21
|
Ugu
|
Buda
|
Kliwon
|
|
22
|
Wayang
|
Saniscara
|
Kliwon
|
|
23
|
Kulawu
|
Buda
|
Wage
|
Buda Cemeng Kulawu | Rambut Sedana
|
24
|
Dukut
|
Anggara
|
Kliwon
|
Anggara Kasih Dukut
|
25
|
Watugunung
|
Saniscara
|
Hari Saraswati, memperingati
turunnya ilmu pengetahuan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar